"Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu)," kata Wahyu.
Sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata "goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini sembari mencoba menstarter motor.
Entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum ditemui satupun pengendara yang dimintai pertolongan.
Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian di depan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah kakinya berhenti.
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah, pasti.
"Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku sudah capek dorong motor dari tadi)."
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Yu, krungu ora? Suara mantenan (Yu, dengar tidak? Ada suara hajatan)?"
Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.
"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)."
Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, diiringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan.
Sampai, dilihatnya, terdapat janur kuning melengkung. Di sana, Widya melihatnya sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan. Di sana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.
"Nopo le (ada apa nak)?" suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok (motornya mogok)?"
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda. Menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya dibetulkan.
Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri. Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang ditabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.
"Aku ra eroh nek onok kampung nang kene (aku tidak tau ada kampung disini)."