KKN di Desa Penari 23

80 4 0
                                    

"Lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)."

"Gawe opo? Paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong sampahnya yang dari bambu)

"Yo wes mboh (ya sudah terserah)."

Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima sendirian.

Bima itu anak cowok yang paling religius, sama kaya Nur, karena mereka memang sudah dekat di kampus. Tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima onani di dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali, masalahnya adalah, saat Bima melakukan itu, ada suara perempuan.

Widya tidak terima Bima dikatain itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani.

"Heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo  (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani)?"

Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.

"Sing dadi masalahe iku guk Bima onani. Kabeh lanangan pasti tahu onani, aku gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e. (yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuannya)."

"Pas tak enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui. (ketika kutunggu, siapa perempuan itu, kukira itu kamu, kalau gak Ayu atau Nur, ternyata, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar sama dia)

"Trus?" tanya Widya.

"Suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu (suara siapa dong yang kudengar waktu itu)?"

"Masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)."

Cerita Anton membuat pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur, arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap memandangnya. Tipak Talas.

Tipak Talas

Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang. Hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini. Selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak Talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

Pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman. Namun, bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda.

Sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang dimaksud adalah simbol alam lain.

Hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati.

Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang