KKN di Desa Penari 21

81 5 0
                                    

Hanya saja apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih diam.

Kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk. Dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada di sana, menulis laporan.

Sayangnya tidak ada Ayu di sana. hanya ruangan kosong. Di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada di sana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji dan Bima yang entah apa yang ia lakukan.

Selama tinggal di rumah ini, hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya. Sayangnya, malam itu, tak ditemui satupun penghuni rumah ini. Apakah Widya terlalu sore untuk pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama warga.

Entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar. Saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.

Perasaan seolah ada yang mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada. Ketika, suara tawa ringkik terdengar dari pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya yakin, sesuatu ada di sana.

Sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya. Ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap lurus tempat Widya berdiri.

Ia masih mengenakan mukena putihnya seolah-olah, ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenanya, hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu.

"Nur, ngapain?" kata Widya.

Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.

Saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. Membuat Widya panik, mendekatinya.

Widya menggoyang badannya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya. Tatapannya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah Ayu (anak cantik)."

Hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur. Hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur. Suaranya menyerupai wanita uzur. Melengking, membuat bulu kuduk Widya seketika berdiri.

Namun, saat Widya mencoba pergi, tangannya sudah dicengkeram sangat kuat.

"Kerasan nak nang kene (betah tinggal di sini)?"

Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkannya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.

"Yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu di sini)?"

Widya mulai menangis.

"Lo, lo, lo, cah ayu ra oleh nangis, gak apik (anak cantik gak boleh menangis)."

Matanya masih melotot, pergelangan tangan Widya dicengkram dengan kuku jari Nur.

"Cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)."

"Nur," ucap Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.

"Iling Nur, iling (sadar Nur, sadar)!"

Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam dan takut.

"Awakmu gak ngerti, sopo aku (kamu gak ngerti siapa aku)?"

"Mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo bolo alus nang kene isok nyilokoi putu'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, bolo alus nyedeki putuku, ngerti (kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu di sini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan kubiarkan mereka mendekati cucuku, mengerti)

"Nyilokoi nopo to mbah (mencelakai bagaimana)?"

"Cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. Nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki. (anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika dibiarkan semuanya akan kena batunya di desa ini)

Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang