Namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.
Tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas. Tumbuhanya kecil tapi rimbun samping kiri kanan. Sudah gak bisa dilewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar.
Namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu. Namun yang ini, wanginya seperti aroma melati.
Seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah. Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam. Dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti di sini.
Jadi, jalan menurunnya ditutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang dililit tali puteri.
Di bawahnya, dia melihat sanggar yang diceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.
Ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut. Dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung.
Di sana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.
Saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadirannya tidak sendirian. Ramai, seperti tempat ini penuh sesak. Namun, tidak ada siapapun di sana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati.
Tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap hening sekali.
Keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadirannya seperti tidak di terima disini.
Namun Widya memaksa untuk tetap melihat. Dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal, Ayu.
Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN di sini, Ayu.
Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang mengangggunya. Sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini.
Namun di malam ketika mereka berdebat mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong. Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.
Seperti menangkap angin, ada suara tangisannya. Namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari. Tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti ia ditatap dari berbagai sudut.