KKN di Desa Penari 10

94 4 0
                                    

Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri.

Suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah.

Ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badannya, Widya merasakan dingin air itu membilas badannya.

Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulu kuduk merinding. Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.

Siapa pemilik wajah cantik itu?

Kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati suaranya dari luar bilik, tempat Nur berdiri seorang diri. Apakah Nur yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya. Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.

"Nur, awakmu isok kidung jawa ya (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya)?"

Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.

Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. Ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9 lampu sudah mati, diganti dengan petromak. Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.

Widya masih teringat kejadian sore tadi.

Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal disemprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik. "Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar. (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh dari sana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada di sana)!!"

Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang