01; Proposal Rumah Tangga

155 9 5
                                    

"Itu keinginan Mami, bukan keinginan Mas."

"Mami mau punya cucu apa mau berternak sih, Mas?"

Daffa tertawa pelan. Menikmati sarapannya penuh suka cita, mengingat setelah kejadian semalam tanpa diduga Mika ke luar dari kamarnya dan mencari keberadaan suaminya itu. Daffa yang tidak tahu harus ke mana karena telah merasa bosan menonton televisi pun memutuskan untuk bergabung di pos ronda bersama bapak-bapak lainnya, mencurahkan isi kepala selaku orang yang belum berpengalaman dalam hal berumah tangga seperti ini.

Tidak lama kemudian Mika datang menjemput Daffa, meminta pria itu untuk pulang dan beristirahat karena keesokan harinya masih harus pergi bekerja. Atas alasan keprofesionalan menjadi istri yang baik dan tidak ingin menganggu siklus kerja sang suami hanya karena masalah kecil, Mika memeluk tubuh Daffa dengan erat. Meminta maaf atas apa yang telah terjadi, begitupun sebaliknya.

Kini mereka kembali harmonis.

"Harap maklum, Mami udah tua. Dia merasa kesepian, merasa bahwa setelah anak-anaknya memiliki kehidupan baru. Mengharapkan cucu merupakan satu-satunya hal yang dilakukannya saat ini, rumah pasti bakal ramai kalau banyak anak kecil." Daffa menjelaskan.

"Mas udah pengen banget punya anak?"

Daffa terlihat berpikir. "Em, nggak terlalu, sih. Karena sejak awal Mas bertekad untuk menikmati prosesnya bersama kamu, merintis semua dari nol, belajar untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik. Dan kehadiran anak di tengah keluarga kita, itu bonus."

Mika merasa senang mendengarnya. "Aku takut kalau Mas berpikiran buruk tentang semua ini."

"Berpikiran buruk tentang apa, Sayang?"

"Tentang kita," Mika berujar. Tatapannya lurus melihat ke arah Daffa yang memerhatikan dengan seksama. "Kalau dipikir-pikir lagi, ucapan Mami ada benarnya juga. Kita harus mempertimbangkan untuk memiliki anak, Mas. Apalagi di usia pernikahan kita yang udah selama ini. Kamu sempat kepikiran nggak, sih?"

Daffa menggenggam tangan Mika. "Apa yang kamu katakan? Apa yang saat ini Mas jalani bersama kamu itu semua murni atas nama cinta, jadi jangan berpikiran macam-macam. Kalau kamu membahas soal usia pernikahan kita, katakan aja kalau semua itu masih terlalu dini untuk dibahas. Mengingat kita baru menikah selama delapan bulan lamanya,"

Mika terdiam.

"Kenapa diam aja?" Daffa bertanya.

"Gapapa."

"Kamu mau bantu Mas?"

"Bantu apa?"

Pria dengan setelan kemeja formal itu menepuk pahanya. Memberikan tanda pada Mika yang saat ini duduk di seberangnya, terpisahkan oleh meja makan. "Sini, duduk di pangkuan Mas."

Mika menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir. "Aku harus cuci piring, Mas juga harus berangkat sekarang. Nanti bisa terlambat."

Daffa spontan meraih apron yang dikenakan Mika, menarik gadis itu ke atas pangkuannya. Tidak ingin membuang kesempatan percuma, ia melingkarkan tangan di sekitar pinggang istrinya, mencegahnya untuk pergi. "Udah dua hari ini Mas capek banget," Daffa mendongakkan kepalanya. Bersikap manja terhadap Mika yang belum sempat melawan dan protes atas apa yang terjadi. "Tolong beri Mas kekuatan untuk menjalani rutinitas hari ini."

Mika menangkup wajah suaminya malu-malu, dan menciumnya cepat. Satu kali, dua kali, Daffa sama sekali tidak berkomentar dan tersenyum manis di sana. Merasa bahwa energinya telah terisi penuh.

"Jadi gadis baik sampai Mas kembali, 'ya?"

Mika mengangguk. "Iya, Mas."

"Kalau Bu Sugeng menggosip di tukang sayur kamu jangan ikut-ikutan, kalau perlu minta tukang sayurnya ke rumah. Jadi kamu nggak usah jalan jauh-jauh ke sana."

"Iya, Mas."

"Jangan terlalu memaksakan diri, kamu boleh bersih-bersih rumah, tapi jangan berlebihan. Karena Mas sadar diri, kalau Mas menikahi seorang putri kerajaan, bukan seorang Upik abu."

Mika tertawa. "Iya, Sayang."

"Good girl, duh. Mas jadi berat buat pergi ke kantor, gimana dong?" Ia memasang wajah lucu. Membuat Mika gemas karenanya. "Meskipun rasanya berat, Mas harus pergi ke kantor. Karena sebongkah berlian yang nantinya akan Mas berikan pada kamu itu nggak bisa membeli dirinya sendiri."

"Selamat bekerja, Suamiku."

"Iya, deh. Mas jalan dulu." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang