42; Kunjungan Mertua

22 2 0
                                    

Mika melangkah menuju dapur di pagi harinya. Tak ditemani oleh siapa pun, sebab Daffa pergi pagi sekali. Mengatakan bahwa ada urusan mendesak, Mika tidak dapat memprotes dan membiarkan pria itu pergi. Tak menaruh rasa curiga kendati belakangan Mika kerap mendapati Daffa sedang sibuk dengan ponselnya, sempat menghubungi seseorang yang dirasa begitu asing sebab Mika tidak pernah mendapati Daffa berbicara formal seperti itu dengan teman-temannya.

Mungkin klien.

Mika berusaha untuk sekadar meyakinkan diri sendiri untuk tidak terlena dan larut dalam pikiran, meliputi persepsi tidak bertuan di dalam benak.

Ada beberapa hal yang ingin Mika ceritakan untuk saat ini. Meliputi perubahan suasana dan kondisi dari hunian yang ditempati, ada beberapa sentuhan baru pada bagian hiasan dinding, Daffa mengganti warna cat pada beberapa ruangan, dan soal kabar terkini dari peliharaan mereka; si anak bebek berwarna biru. Bebek itu diadopsi oleh tetangga mereka, sebab merasa iba atas perlakuan Daffa setiap kali mengurus dan memperlakukannya seperti boneka tak bernyawa.

Menyeramkan.

Menggetarkan hati para pecinta hewan.

Untuk yang satu itu, Mika sama sekali tidak ikut campur meskipun rasanya sedih juga, sih. Tapi semua ini dilakukan demi kesejahteraan dan kelangsungan dari kehidupan anak bebek itu sendiri.

"Mika, permisi. Sayang?"

Mika menoleh ke arah pintu. Dari arah sana terdapat suara dari seseorang yang dirasa sudah tidak asing lagi, membuat gadis itu spontan beranjak menuju pintu dan membukanya.

"Mami?"

Mika terkejut. Tidak dapat berkata apa-apa ketika ada seorang wanita mendekapnya, beralih memerhatikan perut membesar Mika yang dari hari ke hari menunjukkan kemajuan pesat. Berbulan-bulan telah dilalui tanpa adanya beban berarti.

"Mami kenapa nggak kasih kabar kalau mau datang ke sini?"

Yulia terlihat sumringah, tidak dapat menyembunyikan senyumannya.

"Mami kebetulan lewat, ada teman lama Mami yang baru aja pindah nggak jauh dari sini. Jadi kenapa nggak mampir ke sini untuk melihat menantu dan calon cucu Mami?" Yulia berkata demikian. Mika tak dapat melakukan apa pun selain memersilakan Yulia untuk masuk ke dalam rumah.

"Silakan masuk, Mami."

"Iya, Sayang."

"Um, Mami mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Mami bisa ambil sendiri. Ini ada sedikit oleh-oleh, camilan baik untuk ibu hamil seperti kamu."

Mika menerima bungkusan yang diberikan, senyum tulus sontak terpatri di sana.

"Makasih, Mami."

"Sama-sama, Sayang. Daffa udah pergi kerja, 'ya? Ah, pantas aja sepi."

"Iya, Mas Daffa pergi pagi-pagi sekali."

"Daffa memang seperti itu, ada kalanya mementingkan pekerjaan dan menjunjung tinggi nilai dari keprofesionalan dalam bekerja. Sehingga terkadang lupa mementingkan apa yang seharusnya menjadi prioritas dia. Apalagi dia udah menjadi seorang suami, calon ayah pula," katanya. Terdengar menghakimi anaknya sendiri. "Tapi kamu gapapa, 'kan? Maksud Mami, bagaimana kondisi kandungan kamu? Rutin cek ke dokter, 'kan?"

Mika mengangguk kecil. "Iya, rutin cek ke dokter. Keadaannya baik-baik aja. Nggak ada yang perlu dicemaskan."

Mika berniat untuk tidak mengindahkan poin utama dalam percakapan; sikap Daffa.

"Udah tujuh bulan, 'ya?"

Mika mengangguk. Namun, kali ini terlihat begitu lesu dan tidak bersemangat. Teringat akan sebuah topik pembicaraan.

"Um, Mami. Ada hal yang ingin Mika katakan. Soal kandungan ini."

"Kenapa?"

"Mungkin ada baiknya kalau Mami segera mencari menantu yang baru. Istri untuk Mas Daffa." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang