21; Ketakutan Terbesar

34 2 0
                                    

Pikiran Mika terasa penuh. Terlebih ketika tahu bahwa ponsel Daffa tidak dapat dihubungi.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, kabar dari Daffa belum diketahui. Mika sudah menghubungi Romi, pria itu bahkan menanyakan hal yang sama pada Mika. Merasa bahwa telah terjadi sesuatu hal buruk, Mika tidak dapat berhenti menggigit kuku. Melepas resah yang senantiasa merengkuh.

Entah mengapa nama dari seorang gadis tiba-tiba saja terbersit di dalam benak Mika.

Menggelengkan kepalanya guna mengusir setiap dugaan miring soal keberadaan suaminya itu. Tidak, Daffa tidak akan melakukan hal seperti itu. Sudah pasti. Namun, entah mengapa Mika masih dibuat khawatir. Tak lama waktu berselang ponselnya kembali berdering, di saat itu juga Mika langsung merespon.

"Halo?"

"Halo, Mika. Daffa udah nelepon kamu?"

"Belum, kamu sendiri?"

Romi terdengar menghela napas. "Belum, Mika. Tapi saya mendapat kabar dari anak kantor kalau Daffa udah pulang sekitar dua jam yang lalu. Tapi, ada hal yang harus aku sampaikan sama kamu, sebenarnya hal ini udah terjadi selama dua minggu belakangan."

Mika mengerutkan keningnya. "Ada apa, Rom?"

"Um, pada awalnya saya menyembunyikan hal ini karena Daffa berjanji bahwa ini yang terakhir kalinya, Daffa minum-minum lagi. Saya minta maaf karena menyembunyikan semua ini dari kamu, Mika."

Mika terkejut mendengar pernyataan tersebut. Ia bahkan tidak dapat berkata-kata. Terlebih ketika Romi mengimbuhkan,

"Kali ini dia pergi sama seseorang. Orang kantor bilang kalau Daffa dijemput cewek. Tapi sumpah demi apa pun, Mika. Saya nggak bermaksud untuk menyembunyikannya hanya karena Daffa sahabat saya. Setelah apa yang terjadi, saya rasa harus memberitahu kamu soal apa yang terjadi..., Mika? Halo?"

Mika memutus sambungan telepon, baik pikiran dan hatinya sama-sama merasa dibohongi.

Sensasi semacam apa ini?

Dadanya seketika saja terasa sesak.

Ponselnya kembali berdering. Tanpa basa-basi Mika menanggapinya, masih dalam keadaan merasa tidak terima.

"Mika? Halo? Kamu baik-baik aja?"

"Gapapa."

"Mika, serius. Maaf karena saya kamu jadi begini."

Mika menghapus jejak air matanya. Mau ditutupi bagaimanapun juga ia tidak dapat membohongi diri sendiri dengan bersikap bahwa semuanya baik-baik saja. Mika dapat mendengar napas gusar Romi di ujung sana, merasa risau.

"Mika...,"

"Maaf, Romi. Saya harus menghubungi Mas Daffa lagi."

"Oh, oke. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya."

"Iya."

Mika kembali memutus sambungan telepon. Perhatian gadis itu sontak saja teralihkan pada suara mesin mobil di luar sana. Tahu bahwa sosok yang dinanti-nantikan sudah datang, Mika tidak lantas menghampiri pintu dan menyambutnya seperti biasa. Ia terlihat masih menanti di dapur, manik mata Mika awas memerhatikan sekitar.

Sampailah saat di mana Daffa datang dan melempar tas kerjanya secara sembarangan. Menimbulkan bunyi yang gaduh sebab benda itu menjatuhkan beberapa bingkai foto dan koleksi action figure milik pria tersebut. Mika terkejut karenanya.

"Mas!" Mika tidak tahan lagi. Ingin segera memastikan bahwa apa yang telah dikatakan oleh Romi benar adanya.

Bau alkohol.

Gadis itu sedikit menjaga jarak sebab aroma minuman yang menyengat dan secara otomatis membuat hidungnya dipenuhi oleh sensasi abnormal. Sementara Daffa terlihat tak peduli mengenai masalah tersebut, mengingat betapa datar dan dinginnya ketika ia balas menatap Mika dengan sedemikian rupa.

"Mas minum?"

"Kenapa? Nggak suka?"

Mika dibuat gentar karenanya. "Mas Daffa...,"

"Jangan banyak bicara, berisik. Masuk kamar sekarang," Daffa berujar. Tidak ada kehangatan dalam pria itu, seakan apa yang saat ini Mika saksikan merupakan proyeksi terburuk dari suaminya sendiri. "Cepat!"

Mika hanya dapat menangis. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang