Mika akan segera melahirkan.
Mika tidak dapat menyembunyikan rasa cemas dan gembiranya. Di satu sisi ia akan merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Namun, di sisi lainnya ada situasi sulit yang akan mempertaruhkan nyawa.
"Nggak mungkin," kata Daffa. Merasa tidak percaya atas apa yang baru saja Mika katakan soal kondisi kandungannya yang begitu rumit. "Kenapa kamu baru bilang sekarang, Mika?"
Mika menggelengkan kepalanya seraya tersenyum manis. "Maaf, ini demi kebaikan kamu dan anak kita. Tolong jaga dia baik-baik—"
"Diam! Mas nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu, Mika!"
Daffa merasa tidak terima. Melesat pergi dari rumah, meninggalkan Mika seorang diri di sana. Kendati angin malam menusuk permukaan kulit, Daffa tidak peduli. Perasaannya berkecamuk, pikirannya tak kalah kacau. Merasa bahwa Mika telah membohongi dirinya. Memberikan pernyataan yang membuat diri Daffa terguncang.
Ini tidak bagus.
Daffa telah menginjak harga dirinya sendiri, dengan mengenyampingkan apa yang kerap dikatakannya soal pria sejati yang tidak akan mengecewakan wanitanya. Bullshit, semua itu nyatanya hanya ungkapan kosong.
"Sial, kenapa jadi gini?" Daffa mengacak-acak rambut ikalnya, mendengkus kesal dan mendudukkan diri di kursi taman. Sempat menangkup wajahnya di sana, ia sama sekali tidak menduga bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. "Dungu, Daffa. Dungu, aturan lo ada di sisi Mika, bukannya kabur seperti ini."
Daffa tidak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri.
"Oi, kenapa lagi?"
Daffa mengangkat wajahnya. "Eh?"
Romi menghela napas panjang dan melipat kedua tangannya di depan dada. Memerhatikan pria itu dari posisi ini, mulai mempermasalahkan kebiasaan Daffa dalam hal menyelesaikan masalah.
"Maaf sebelumnya, tapi saya udah tau keadaan Mika dari jauh-jauh hari. Dia cerita kalau nggak berani untuk mengatakan hal ini sama kamu, karena dia tau pasti akan berakhir seperti ini," kata Romi. Berusaha memberikan penjelasan. "Jangan salah sangka, jujur aja sikap kamu yang satu ini harus dibuang jauh-jauh. Nggak berguna, soalnya."
"Romi benar, Daffa," sahut suara lainnya. Tidak ayal membuat Daffa menoleh ke arah sumber suara di sana. "Ada saat di mana kita harus tetap berdiri di satu titik, meskipun hal tersebut bisa membunuh kita sekalipun. Kembali pada situasi dan kondisi, kita yang notabenenya laki-laki harus siap menghadapi apapun, bagaimanapun kondisinya."
"Pak Suhardi?" Daffa terkejut.
Pria setengah baya yang mengenakan sweater pastel tersebut terlihat tertawa pelan. Duduk di sisi Daffa, menghela napas setelahnya. "Saya pernah berada di posisi kamu, Daffa. Terjebak di antara dua keputusan, meskipun terasa sulit. Tapi saya menyadari satu hal."
"Apa itu?"
"Kita nggak boleh melarikan diri."
Daffa terlihat berpikir sejenak. Sepersekon selanjutnya pria itu berjengit dan berlari pulang ke rumah. Hendak menemui Mika. Meninggalkan kedua pria yang telah membantunya.
"Daffa suka kayak gitu, Pak. Maaf saya mengajak Bapak ke sini, soalnya pas Mika minta tolong saya nggak tau harus bawa siapa buat jadi backup kalau-kalau Daffa nggak mau dengerin ucapan saya." Kata Romi. Membuat Suhardi tertawa karenanya.
"Santai aja, Romi. Kebetulan saya lagi nggak berada jauh dari sini."
Sementara itu Daffa berlari melesat ke rumah, tidak mampu membendung rasa sesak di dada. Sesekali ia mengusap matanya menggunakan lengan, menghalau angin malam yang membuat matanya kian terasa pedih dan mengeluarkan bulir bening dari sana. Tidak membuang waktu, pria itu membuka pintu dan mendapati Mika tengah mempersiapkan diri sebelum sang mertua datang menjemput.
"Mas Daffa—"
Daffa mendekap tubuh mungil Mika. Membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan perlengkapan yang semula hendak dimasukkan ke dalam koper. "Maafin saya, Mika. Dari awal saya udah bersikap kekanakan dengan tidak memperhatikan kondisi kesehatan kamu, terlepas dari rahasia yang kamu tutupi selama ini. Saya benar-benar minta maaf."
"Mas...,"
"Maka dari itu, Mas akan menerima apapun hasilnya. Dan Mas akan tetap berjalan bersama kamu, tidak peduli meskipun peluang yang kita miliki hanya dua puluh lima persen."
"Dokter mengatakan kalau kehamilan ini berisiko tinggi, dokter bahkan menyarankan aku untuk menggugurkan kandungan ini. Karena apabila tidak, maka nyawa aku yang menjadi taruhannya," kata Mika mulai berterus terang. "Saat ini kita terjebak di antara satu pilihan, Mas. Apapun yang terjadi, aku harap itu merupakan yang terbaik."
Daffa meraih kedua tangan Mika, menciumnya di sana.
"Mas sayang sama kamu, wanita terkuat yang pernah saya temui dalam kehidupan ini." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...