"Maaf, Mami. Bukan maksud Daffa nggak mau pulang, tapi pekerjaan Daffa lagi banyak."
"Tapi kamu bisa izin cuti, 'kan?"
"Nggak bisa, Mami. Nggak enak sama orang kantor kalau semisal Daffa izin cuti terus. Kalau Mami mau, Daffa bisa pulang di akhir pekan ini."
Mika memerhatikan percakapan ibu dan anak tersebut dari dapur. Tak berniat untuk ikut campur kendati Daffa sudah terlihat tidak nyaman sekalipun. Sesekali mengusap poin wajah dan menghela napas panjang, pria tersebut seakan tertekan setiap kali ibunya menghubungi. Kendati ada pilihan yang di mana Daffa dapat menghindari panggilan dari sang ibu untuk sementara waktu, Daffa tetap mengangkat telepon dan tidak sungkan untuk menyapanya dengan ramah.
"Akhir pekan ini, 'ya?"
"Iya, Mami. Gapapa, 'kan?"
Mika melanjutkan kegiatan mengiris bahan makanan untuk diolah, tidak akan merasa munafik bahwa ada rasa ingin membantu Daffa—dengan mengatakan kepada sang mertua bahwasannya Daffa sedang sibuk dan semacamnya, sehingga tidak dapat berlama-lama menelepon—tapi hal itu rasa-rasanya mustahil direalisasikan. Adapun risiko di mana Mika akan dicap sebagai pribadi yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain.
"Daffa bisa ajak Mika ke sana juga buat refreshing."
Jari tangan Mika seketika saja kehilangan kontrol dan mengiris sedikit telunjuknya. Sontak menjatuhkan pisau yang semula berada dalam genggaman dan mengibaskan tangannya karena merasa perih. "Awh!"
"Mika! Kamu kenapa, Sayang?!" Daffa beringsut mendekati Mika, tidak peduli kendati ponsel masih berada dalam genggaman sekalipun. "Duh! Kok bisa berdarah? Tunggu, Mas ambil plester dulu."
"Nggak usah, Mas!" Mika mencegahnya untuk pergi. Membuat Daffa merasa kebingungan di saat itu juga. Terlebih ketika Mika mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan, "Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri, selesaikan aja pembicaraan kamu dengan Mami."
Daffa merasa tidak terima. "Tapi jari kamu...,"
Mika menggenggam lengan Daffa sejenak. "Mas, aku bisa sendiri. Serius. Jangan buat Mami menunggu, nggak enak."
Pria itu tersenyum simpul dan berpasrah diri pada kemauan Mika, ada rasa berat saat gadis itu melangkah melewatinya. Kembali pada percakapan dengan sang ibu, Daffa mengusap bagian belakang kepalanya dan mengatakan bahwa tidak terjadi suatu apa pun yang buruk, sementara Mika bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengobati lukanya.
Membersihkan telunjuknya dengan menggunakan air hangat, Mika segera menutupnya dengan plester. Pikirannya berkelana entah ke mana, kendati tangannya bekerja tetapi akal sehat Mika tidak berada pada tempat yang semestinya.
Tidak lama setelahnya Daffa terlihat menyusul Mika ke dalam kamar mandi. Kini mereka bertatapan melalui pantulan cermin, atmosfernya terasa begitu asing dan dingin.
"Kamu gapapa, Mika?"
Mika menggelengkan kepalanya. "Gapapa, Mas."
Daffa menundukkan wajahnya dan melangkah mendekatinya, tak ragu untuk sekadar melingkarkan tangan di sekitar pinggang dan mengecup lehernya. "Maaf, kalau Mas nggak punya daya di depan Mami. Mas tau kalau kamu belum siap bertemu dengannya lagi."
Mika menyandarkan kepalanya pada dada Daffa. Tempat di mana Mika akan selalu diterima apa adanya, apa pun kondisinya. "Aku takut kalau nantinya aku akan mengecewakan kamu. Mempermalukan kamu di depan keluarga besar kamu. Maksud aku, semua ini masih terlalu cepat, mungkin ini merupakan perasaan aku aja. Maaf."
Daffa menggelengkan kepalanya saat menenggelamkan wajah di antara tengkuknya, menghela napas panjang di sana.
"Jangan meminta maaf atas apa yang tidak kamu perbuat, Mika. Karena pada dasarnya Mas belum siap, tapi apa pun konsekuensinya kita harus menghadapinya bersama."
Mika mengangguk.
"Apa yang menjadi masalahmu akan menjadi masalahku juga, Mas. Apa yang kita jalani saat ini, semuanya. Entah mengapa ada saat di mana aku merasa lelah atas apa yang dijalani."
"Maafin aku, Mik."
"Nggak ada yang harus dimaafkan, Mas. Perjalanan ke rumah Mami membutuhkan waktu dan kita butuh persiapan," Mika memutar tubuhnya dan menghadap ke arah Daffa. Tersenyum manis tepat ke arahnya. "Kita harus membeli beberapa bahan makanan untuk membuat bekal, dan oleh-oleh untuk Mami tentunya."
"Makasih, Sayang."
"Nggak masalah, Mas."
Daffa mencium bibir Mika dengan cepat. Tahu bahwa mereka harus bergegas karena ada persiapan yang harus dipenuhi. []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...