30; Karantina Mami

18 2 0
                                    

Rasanya Mika ingin sekali mengomentari bagaimana cara Daffa yang bersikap begitu protektif. Memberikan asupan terbaik pada ibu hamil seperti apa yang dianjurkan oleh dokter, tidak lupa menyediakan tempat yang dirasa cukup nyaman di luar kamar. Pria itu terlihat tidak sungkan lagi untuk sekadar membeli sofa baru, berukuran lebih lebar sehingga dapat menampung dua atau tiga orang di sana.

Sebagai nilai tambah, Daffa menyediakan sebuah meja dan kulkas kecil di dekat sofa; memungkinkan Mika dapat mengambil makanan dan juga minuman tanpa harus melangkah turun dari sana, meminimalisir terjadinya kelelahan, terlebih di masa seperti ini.

Begitu rentan.

"Persis seperti barang pecah belah ya, Mas?" Mika terkekeh pelan, tidak habis pikir akan tindakan suaminya itu. "Sampai-sampai aku nggak boleh bantu, kerjaannya duduk aja seharian di sini. Liatin kamu terus."

Daffa menghapus peluh dan mendudukkan diri di sana, menikmati hasil kerja kerasnya selama seharian ini. Pria itu tidak masuk kerja hari ini, mengatakan bahwa ada kepentingan yang harus diurus. Yaitu Mika, sang istri tercinta.

"Gapapa kamu liatin Mas seharian, ada manfaatnya."

"Apa manfaatnya?"

"Mencuci mata."

"Serius, Mas. Aku sampai bosan karena nggak ngapa-ngapain."

Pria itu tersenyum simpul dan mengusap puncak kepala Mika, sejenak memerhatikan obsidian legam istrinya itu.

"Harus dibiasakan, Mas nggak mau kamu kenapa-napa. Terlepas dari itu, Mas nggak mau diomelin sama dokter yang periksa kamu semalam. Serius, Mas sampai nggak bisa tidur karena terbayang terus. Serem."

Mika terkekeh pelan. Mengingat bagaimana reaksi Daffa yang terkesan begitu terkejut ketika diberikan wejangan oleh dokter itu hanya membuat perutnya terasa sakit, menahan tawa. Pria memesona itu bahkan tidak sempat memberikan pembelaan yang meliputi; minimnya gejala kehamilan, ketidaktahuannya dalam hal ini, dan pengalaman pertama dalam sejarah kehidupannya sebagai seorang calon ayah.

Daffa tidak dapat mengatakan apa pun setelah menerima berbagai macam peringatan dan juga saran, membahas keterlibatannya sebagai seorang kepala rumah tangga, Daffa rasa bahwa dokter itu memiliki dendam personal mengingat betapa kejamnya ketika mengatakan hal tersebut. Kasihan sekali.

"Kaget ya, Mas?"

Daffa mengangguk membenarkan. "Seumur-umur Mas nggak pernah dimarahin kayak gitu. Apalagi sama orang lain, jadi tremor."

"Sama Mami pun nggak pernah?"

"Nggak. Eh, Mas jadi teringat sesuatu."

"Apa?"

Daffa terlihat berpikir. Menggulum bibirnya di sana. "Gimana cara kasih tau Mami?"

Kini Mika pun dibuat memikirkan hal serupa sebab Daffa membuatnya teringat akan poin tersebut. Mika sudah sempat memberitahu kedua orang tuanya di desa, tetapi tidak dengan orang tua Daffa karena Mika tidak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan berita ini.

"Mami pasti senang."

"Kamu nggak tau apa yang dihadapi istri Mas Panji sewaktu Mami tau kalau dia hamil."

Mika mengernyit, mendengar penuturan suaminya itu yang secara tak langsung mengikutsertakan nama dari kakak iparnya. Seingat Mika, pria bernama Panji tersebut merupakan anak sulung di keluarga Daffa, katakan saja bahwa ia merupakan tangan kanan sang Ibu terlepas dari peran Daffa yang tidak lebih dari sekadar anak bawang.

"Emang kenapa?"

"Istrinya dikarantina di rumah Mami. Nggak boleh ke luar sampai kandungannya dirasa kuat dan tidak rentan terhadap sekitar."

"Jadi?"

"Jadi Mas nggak mau kasih tau Mami. Mas nggak akan munafik kalau nggak kuat berada jauh-jauh dari kamu sementara Mas masih harus kerja di sini."

Mika tersenyum, berusaha menggoda pria itu seraya mengedipkan mata beberapa kali.

"Gimana, Mas?"

"Gimana apanya?"

"Kalau aku tinggal di rumah Mami. Mas di sini."

"Bunuh aja Mas sekalian." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang