12; Rasa Curiga

22 2 0
                                    

Daffa sudah pergi ke kantor pagi sekali.

Mika yang bangun dalam keadaan mengenaskan menyadarinya ketika mendapati keadaan rumah sudah sepi. Tidak ada Daffa di sana, kecuali suara dari pendingin udara yang menyapanya ketika memulai hari yang terasa berat kali ini.

Membuat sarapan untuk dirinya sendiri, Mika memecahkan dua butir telur untuk menjadi bahan pelengkap roti panggang yang baru dibuat, membubuhinya dengan merica dan garam. Saat ini Mika sedang tidak mood untuk mengolah sarapan yang lebih mewah dan bernutrisi dari ini. Matanya terasa panas, permukaan wajahnya sensitif terhadap udara, suaranya serak bahkan hampir tidak terdengar.

Menangis rupanya tidak bagus untuk sebagian orang.

Meletakkan sajian di atas meja makan dan ditemani oleh sekotak jus jeruk dalam kemasan, pandangan Mika tertuju pada paper bag yang semalam Daffa bawa. Benda itu tergeletak begitu saja di atas meja, di sana tidak ada satu tanda pengenal pun mengenai apa yang ada di dalamnya. Seraya mengunyah sarapannya, Mika membuka bungkusan tersebut dan mendapati sebuah syal rajut berwarna merah dari salah satu merek kenamaan. Benda yang sempat Mika bicarakan pada Daffa karena kualitas dan juga harganya yang mahal, seketika saja Mika tidak dapat mengatakan apa pun.

Untuk siapa?

Mika spontan menanyakan hal demikian. Mengingat hari ulang tahun Mika masih jauh, sekitar tiga bulan dari sekarang.

Gadis itu spontan menggigit kukunya risau. Kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan ketika Mika merasa cemas ataupun gugup.

Perhatian Mika sontak saja teralihkan ada telepon rumah yang seketika berbunyi. Menyudahi kegiatan makannya, Mika melesat menuju tempat di mana telepon itu berada. Langsung menjawabnya di detik itu juga. "Halo?"

"Halo, Mika. Ini Romi, maaf sebelumnya. Tapi, kamu lagi ada masalah sama Daffa, 'ya?"

Mika mengernyitkan keningnya. Rasa-rasanya hampir memekik ketika mendengar penuturan dari rekan kerja suaminya di kantor itu. "Duh, maaf, kalau kamu mau basa-basi doang saya nggak bisa dengerin, masih banyak kerjaan. Nggak punya banyak waktu."

"Eh! Tunggu dulu, maaf. Saya nggak tau kalau masalahnya sebesar itu, tapi saya bisa minta tolong sama kamu nggak?"

"Minta tolong apa?"

"Hari ini Daffa ada rapat. Tapi ada berkasnya yang tertinggal di rumah, dia nggak bisa pulang karena sebentar lagi harus menghadap klien. Dari tadi dia keras kepala kalau berkasnya ada di kantor, saat ini dia lagi cari berkas itu sampai ruangan dia berantakan."

"Kenapa harus kamu yang nelepon saya? Kenapa nggak dia aja?"

"Ya, maka dari itu saya nanya; kamu lagi ada masalah sama Daffa, 'ya? Soalnya dia datang ke kantor pagi-pagi banget. Penampilannya nggak serapih biasanya, kemejanya lusuh. Udah saya kasih tau untuk minta tolong sama kamu, tapi dia nggak mau. Jadi saya nelepon kamu tanpa sepengetahuan dia."

Mika memejamkan matanya. Merasa tidak habis pikir.

"Ya udah, berkasnya yang mana?"

"Daffa bilang berkasnya ada di dalam map berwarna biru tua."

"Sebentar, saya cari dulu."

"Kalau udah ketemu tolong kabarin, biar saya yang ambil ke rumah kamu."

"Nggak usah," Mika memberikan penolakan telak. "Biar saya yang antar sendiri ke kantor. Sebentar lagi saya ke sana." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang