"Erna, apa kabar?"
"Mika! Ya ampun! Kabar aku baik, kamu sendiri gimana?"
"Kabar aku baik, Erna. Selamat atas kelahiran anak pertama kamu."
"Terima kasih, Mika. Kamu mau liat anak aku? Yuk, masuk."
Mika terlihat begitu antusias. Seraya membawa beberapa buah tangan yang telah dibeli, gadis itu masuk ke dalam kamar sang tuan rumah. Mau tak mau meninggalkan Daffa dengan Cahyo; suami Erna. Mereka terlihat begitu akrab dan membicarakan beberapa hal, entah itu soal tim sepak bola kesayangan yang tempo hari bertanding atau kabar terkini dari seputar otomotif.
Sementara itu Mika telah berada di dalam kamar, memandangi sosok malaikat kecil yang dilindungi oleh sebuah kelambu.
"Ih, lucu banget," bisik Mika sebab tidak ingin mengganggu si kecil, tak mampu menahan diri untuk sekadar menggigit bibir bagian bawah karena merasa gemas. "Siapa namanya?"
"Anindita Legawa."
"Um, apa aku boleh...,"
"Boleh, Mika. Kebetulan udah waktunya dia makan."
Mika merasa senang ketika Erna meletakkan tubuh mungil bayi cantik tersebut di atas pangkuannya. Mika pun berusaha untuk berdiri dengan perlahan. Mengikuti instruksi temannya itu untuk pergi ke luar ruangan, mencari udara yang lebih segar dan baik ketimbang di ruangan dengan pendingin udara tersebut.
Di luar Daffa dan Cahyo langsung menoleh ke arah mereka, diam-diam menilai penampilan Mika ketika menggendong bayi.
"Mas Daffa!" Panggil Erna, meminta atensi darinya. "Lihat, tuh. Istrinya udah cocok jadi Ibu."
Daffa hanya terkekeh pelan dan menghampiri Mika yang salah tingkah, kembali memusatkan perhatian pada Anindita. Ia terlihat menggeliat di sana, menguap karena masih mengantuk.
"Sejak awal dia memang udah cocok jadi Ibu." Daffa berujar. Suasananya sempat hening, namun tiba-tiba saja Anindita menangis cukup keras. Membuat Mika kebingungan karenanya.
"Duh, Erna. Kayaknya dia laper, deh."
"Oh? Coba sini," Erna meminta Mika untuk duduk di sebelahnya. Tak lupa turut serta membawa si kecil ke atas pangkuan. "Anak Mama laper, 'ya? Iya, Sayang. Sebentar, 'ya?"
Mika seketika saja teringat akan sesuatu hal. "Um, Mas Daffa. Kita bawa itu, 'kan? Belum Mas turunin dari mobil, lho."
Daffa sempat berpikir sejenak. Mengingat akan apa yang dimaksud oleh istrinya itu. "Oh, sebentar. Mas ambil dulu."
"Ada apa, Daff?" Cahyo bertanya.
Daffa terkekeh dan mengajak Cahyo ke luar rumah, menuju tempat di mana mobilnya terparkir seraya mengatakan, "Ada hadiah buat si kecil. Mana tau bisa sedikit menambah stok, hitung-hitung buat kenang-kenangan juga dari saya sama Mika, Mas."
"Nggak usah repot-repot, Daff."
"Nggak repot, Mas."
Kedua pria berperawakan tinggi itu pun pergi dari sana, meninggalkan Mika dan Erna di sana. Berniat untuk membawakan perlengkapan bayi yang sempat mereka beli sewaktu dalam perjalanan kemari.
"Aku tau kalau kamu nggak berniat untuk membawa satu nyawa lagi ke muka bumi ini, Mika. Tapi jangan tersinggung, sepertinya kamu udah berubah, 'ya?"
Mika terdiam, dan tersenyum setelahnya. "Terlepas dari keinginan ibu mertua aku, belakangan aku memang merasa kesepian. Apalagi setiap kali Mas Daffa pergi kerja, dan sepertinya kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga nggak terlalu buruk."
Erna menggenggam tangan Mika. Menatap teman sewaktu sekolahnya itu dengan hangat. "Apa pun alasannya, semua itu kembali pada diri kamu. Jangan menjadikan hal ini sebagai beban pikiran kamu, mengingat usia pernikahan kalian masih seumur jagung. Aku sarankan nikmati setiap waktu yang ada, sebelum prioritas kamu bertambah karena kehadiran seorang malaikat kecil di tengah keluarga kalian." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...