39; Curhat Sahabat

17 2 0
                                    

"Gimana liburannya?"

"Ah, serba salah. Mau diperpanjang ada kerjaan di sini, pulang istri saya udah mau ditawan sama Mami."

Romi terbahak. Terlihat meletakkan cangkir kopi di atas meja sebelum mendaratkan bokongnya di sana, merasa tidak habis pikir atas nasib rekan kerjanya yang satu itu.

"Yang sabar, Calon papa."

"Berisik."

"Lagian kamu nggak ada ketegasan, seharusnya kamu bisa mengatasi semua ini. Terlepas dari berbakti pada orang tua, kamu juga punya hak."

Daffa terlihat tercenung. Tidak tahu harus berbuat apa ketika sang ibu menghubunginya, meminta agar dipertemukan dengan Mika sebab ada beberapa hal yang harus dilakukan terutama terhadap ibu hamil.

Meletakkan pisau lipat atau sebuah gunting di dalam pakaian, ibunya mengatakan bahwa hal semacam itu dapat melindungi calon ibu dan si jabang bayi di dalam kandungan. Daffa tidak dapat protes lebih lanjut, apalagi setelah ibunya itu mendoktrin bahwa ia akan membawa Mika untuk tinggal bersamanya di masa kehamilan tuanya, tentu setelah mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga Mika.

Bukan apa-apa.

Ia hanya ingin menjaga.

Begitu cara ia meyakinkan Daffa. Memberi sedikit kelonggaran dan membiarkan mereka menghabiskan waktu bersama.

"Jadi udah ngidam apa aja?"

Daffa tersenyum simpul, menghela napas di detik selanjutnya.

"Untungnya Mika nggak minta macem-macem, cuma ya itu, mood dia sering berubah-ubah. Itu yang bikin saya kaget, sempat nggak terbiasa, sih. Sampai akhirnya saya sadar bahwa harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru seperti ini."

Romi mengacungkan jempolnya. Merasa bangga atas kemajuan pesat dari seseorang yang begitu menyedihkan, semula hanya seorang bujangan nelangsa yang masih mencari tujuan hidup. Namun, kini Romi melihat perkembangan tersendiri terhadap kehidupan Daffa.

"Kamu bagai adik yang nggak pernah saya miliki, Daff."

"Jangan ada-ada."

"Serius. Nggak semua lelaki dapat beradaptasi dengan cepat, apalagi menghadapi kehamilan yang nggak disengaja. Katakan aja begitu. Nggak sedikit yang merasa frustrasi, minta istrinya untuk mengugurkan kandungan. Ada beberapa alasan yang melandasi, di antaranya; faktor ekonomi, mental, hingga alasan yang dapat dikatakan nggak logis. Merasa bahwa itu bukan anak dia."

Daffa meringis pelan.

"Nggak habis pikir."

Romi mengangguk membenarkan seraya menyesap kopinya.

"Nah, itu dia yang saya maksud. Beruntung, karena beberapa di antaranya selamat, mungkin mereka tinggal bersama keluarga baru, atau bahkan berada di panti asuhan. Ingat saudara saya yang nggak bisa punya anak karena rahim istrinya diangkat?"

Daffa mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Sekarang mereka punya anak."

"Kok, bisa?"

"Mereka mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Merasa bahwa nggak ada salahnya untuk mencintai seseorang meski bukan anak yang lahir dari rahimnya sendiri."

Daffa terlihat tercenung. Berpikir bahwa ada saat di mana cinta tidak harus melulu datang dari tempat yang semestinya.

Ketika mereka asik berbincang, suara ketukan pun menggema di sana. Menarik atensi dari keduanya saat sesosok wanita melangkah mendekat dengan santai dan lugas.

Entah apa yang dilakukan Clara di sini. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang