40; Rahasia Mika

21 2 0
                                    

Mika meletakkan piring di atas meja, disusul Daffa yang membawa hidangan panas di dalam panci berisi sup. Belakangan pria itu pulang lebih awal, Mika menyukainya. Sebab dengan begitu pada akhirnya Mika tidak merasa kesepian.

Tersenyum manis dan mengikuti arahan dari suaminya untuk tidak terlalu banyak bekerja, Mika tiada henti memerhatikan poin wajah pria itu. Tidak melepaskannya walau sedetik.

"Kenapa liatin Mas kayak gitu? Ganteng, 'ya? Mas tau itu, jadi nggak usah dipermasalahkan lagi."

"Kepedean." Mika berdecak pelan.

Daffa tertawa pelan dan menarik kursi, mendudukkan diri di sana. Sebelum berkata, "Mas senang liat kamu senyum terus. Mungkin dampak dari adanya si kecil, mood kamu jadi bagus."

Mika tersenyum.

"Hentikan itu," Daffa mengimbuhkan. "Jangan terlalu sering senyum, Mas takut kena diabetes. Kemanisan."

"Ih, Mas apaan sih?"

"Bercanda, Sayang."

Mika mencebik. Melanjutkan kegiatan mengunyah, ia sama sekali tidak berkomentar lebih lanjut.

Namun, seketika saja suasananya kian terasa berat saat salah seorang di antara mereka teringat akan sebuah topik. "Usia kandungan kamu udah hampir empat bulan. Mami minta kamu untuk tinggal bersama dia, sementara waktu hingga kamu melahirkan. Ingat?"

Mika terdiam.

"Bukan apa-apa Mami melakukan hal itu. Sebelumnya dia pernah kehilangan seorang cucu, dia nggak mau hal serupa kembali terjadi," Daffa terlihat menggenggam tangan Mika, hendak mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Terlepas dari itu, Mas takut nggak bisa bertanggung jawab dan menjalankan tugas sebagai seorang calon ayah dengan semestinya. Kalau di rumah Mami banyak yang jaga, di sana ada banyak perawat dan asisten rumah tangga. Mas yakin kamu akan baik-baik aja. Toh, kalau pulang ke rumah Mama kamu itu terlalu jauh. Mas juga udah mendapatkan izin dari beliau, keputusan ada di tangan kamu."

"Terus gimana sama kamu, Mas?"

"Maksudnya?"

"Apa kamu akan baik-baik aja?"

Daffa tersenyum simpul. "Jelas nggak akan baik-baik aja. Tapi Mas nggak akan bersikap egois dan akan menyesuaikan diri, semua demi kebaikan kamu sama calon anak kita."

Keduanya terdiam seketika. Suara alat makan dan permukaan piring terdengar samar, dalam diam memikirkan betul-betul atas apa yang akan diambil untuk menjadi langkah selanjutnya.

Daffa mencemaskan keadaan Mika. Namun, agaknya Mika menutupi sesuatu hal. Sebuah fakta yang kerap disembunyikan kendati dampak dan gejalanya terpampang jelas di hadapan. Seperti saat ini, saat di mana manik mata Daffa mendapati Mika meresapi nyeri. Sempat menggapai udara, meminta pertolongan.

"Mika!" []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang