41; Kondisi Kesehatan

20 2 0
                                    

Manik mata Mika bergetar. Mengetahui fakta yang di mana membuat pikirannya berkecamuk. Kini tepat di hadapannya ada seorang teman semasa sekolah, merangkap menjadi seorang dokter kandungan yang menangani masalah Mika selama beberapa waktu belakangan ini.

"Jangan kasih tau suami saya."

"Tapi, Mika...,"

"Nggak, Susan!" Mika mengecap pahit. Rasanya begitu frustrasi sampai-sampai ingin menangis. "Apa pun kondisinya. Biar saya yang kasih tau dia, sendiri, secara langsung. Bukan dari orang lain."

Susan terlihat berpikir.

"Baiklah. Saya mengerti perasaan kamu, Mika. Tapi kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi saya," ujarnya, menggenggam punggung tangan Mika. Berharap dapat memberikan sedikit kekuatan. "Perlu kamu ketahui bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Maksud saya, kalian masih muda. Nggak akan menutup kemungkinan kalau...,"

"Cukup, Susan. Terima kasih atas bantuan kamu, saya pamit pulang dulu."

Susan mengangguk. Membiarkan Mika pergi ke luar dari ruangan, menyisakan atmosfer abnormal.

Sementara itu Mika terlihat berpikir sejenak. Tatapan gadis itu terpaku pada sosok Daffa yang menantinya di sana. Sengaja tidak datang mendatanginya terlebih dulu, kini Mika terlihat membenahi penampilannya. Berupaya untuk bersikap sewajarnya.

Semua baik-baik saja.

Mika tekankan itu.

"Mas?"

Daffa mengangkat wajahnya. Mendapati sepasang mata hazel tengah menatapnya di sana, penuh harap dan melepas putus asa, Daffa lantas bangkit dari duduknya.

"Udah selesai? Kamu gapapa?"

Mika tersenyum manis. Memberikan pernyataan tidak tertulis namun nyata adanya pada suaminya itu.

"Aku baik-baik aja, Mas. Begitupun juga dengan anak kita. Dia gapapa."

Daffa membuang napas lega. "Mas panik banget. Soal kesehatan kamu dan hal lainnya, Mas hampir putus asa karena kehamilan ini membuat kamu menderita. Mas minta maaf."

Mika mengusap poin wajah Daffa. Air wajahnya sama sekali tidak menyiratkan penyesalan ketika melakukan hal semacam itu, Mika tegar karena keadaan dan juga takdir yang secara tak langsung menggoyahkan rumah tangga mereka. Masih seumur jagung. Begitu rentan.

"Lihat aku, Mas. Apa aku terlihat menderita?"

Daffa terdiam.

"Mas? Serius."

Daffa menundukkan kepalanya. "Mas nggak tau harus ngomong apa."

"Cukup tegakkan kepala kamu dan lihat aku. Selalu melihat tepat ke arah aku, di mana aku berdiri, dan tempat seharusnya aku berada. Di hati kamu. Dalam diri kamu," Mika melingkarkan tangannya pada tubuh Daffa. Mendekapnya di sana. "Jadi jangan salahkan diri kamu atas apa pun itu. Kita yang sama-sama menjalani semua ini. Mengikuti setiap jejak yang ada di peta, membuat setiap kenangan baru bersama-sama. Ingat itu."

"Baiklah. Mas akan mencoba untuk mengikuti setiap jejak yang ada pada peta lagi, bersama kamu."

Mika tersenyum. Menggandeng tangan Daffa dan mengajak pria itu pergi dari kawasan rumah sakit.

"Mas, laper."

"Mau makan apa?"

"Makan kamu, boleh?"

"Jangan, dong. Mas nggak mau kamu jadi janda di usia dini." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang