47; Penyelamatan Mika

29 2 0
                                    

Daffa merasa muak. Rasanya ingin meledak, tak akan gentar sehingga melangkah mundur. Pria itu terlihat menggigit bibirnya sendiri, terus mengikuti ke arah mana mobil bajingan kecil itu melaju. Beruntung, karena Daffa mendengar suara Mika yang dipaksa untuk ikut dengannya.

Hingga pada akhirnya, amarah yang dipendam sejak awal terlampiaskan sudah. Kini Daffa berhasil membawa Mika, melindunginya seperti apa yang semestinya dilakukan oleh suami.

Ia berhasil.

"Bajingan lo, pecundang! Nggak bisa membahagiakan istrinya sendiri!" Jaka berdecak kesal. Menyasarkan pukulan pada perut sang lawan, memberikan sedikit jeda untuk mempersiapkan diri. "Sejak awal kehidupan gue sama Mika baik-baik aja. Seenggaknya sampai lo datang ke kehidupan gue! Lo ambil semuanya dari gue!"

Daffa menghela napas.

"Dengar, yang bajingan di sini adalah lo sendiri, dan perlu lo ketahui. Sejak awal lo sendiri yang menyia-nyiakan Mika! Mikir! Selama ini gue ada buat dia, lo ke mana aja baru sadar sekarang? Dasar bocah nggak tau diuntung."

"Apa lo bilang?!"

"Gue bilang lo bocah, nggak bisa mikir secara jernih," kata Daffa. Melangkah maju dan hendak kembali memberikan pelajaran. "Dengar, sejujurnya gue nggak mau berakhir menjadi seperti ini. Gue nggak mau istri gue liat sisi bejat gue dalam hal menghajar orang secara membabi buta. Sebaiknya lo pergi dari sini, gue nggak mau masalah ini jadi rumit."

Jaka berdecih. Tawanya terdengar meremehkan.

"Astaga, emang dasarnya banci. Apa yang bisa gue harapkan, coba?"

Daffa tidak dapat menahan diri. Menendang pada bagian perut, melumpuhkannya dalam satu serangan telak. Seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan, Daffa menginjakkan kakinya di atas perut Jaka. Menjatuhkan harga diri pria itu sejadi-jadinya.

"Banci, lo yang banci. Pasalnya seorang pria sejati nggak akan mengecewakan wanitanya."

Daffa menginjaknya, lagi, lagi, dan lagi. Kini tawanya terdengar begitu menyeramkan, diselingi oleh teriakan Jaka yang mengeluh kesakitan. Menghalau setiap hantaman yang Daffa lancarkan. Setidaknya hingga pria berbalutkan hoodie berwarna hitam itu merasa bosan, kini Daffa berbalik dan merentangkan tangannya; meminta Mika untuk datang menghampirinya.

"Cukup, Mas."

"Semuanya udah selesai. Dia nggak akan ganggu kita lagi, catat itu. Sekarang kita pulang."

"Iya." Mika bergumam. Mengikuti ke arah mana langkah suaminya itu berlabuh. Sama sekali tidak berkomentar lebih lanjut, dan beralih menghapus jejak air matanya.

Saat ini Mika tidak tahu harus takut terhadap siapa.

Baik itu Jaka ataupun Daffa, keduanya sama-sama menyeramkan. Memiliki sisi gelap yang tidak diketahui oleh Mika, atau baru saja diketahui oleh Mika lebih tepatnya.

Mengingat bagaimana cara Daffa tertawa melihat penderitaan orang lain, dan beralih menjadi sosok manis yang Mika ingat betul. Kedua sifat itu sudah pasti bertolak belakang, tetapi Daffa dapat melakoni keduanya berselang beberapa detik saja.

Luar biasa.

"Kenapa liatin Mas kayak gitu?"

Mika tersenyum. "Kaget, Mas bisa tau kalau aku ada di tempat ini."

"Karena intuisi, Mas dapat mendengar suara kamu di dalam pikiran ini. Karena seperti apa yang mereka katakan; kita memiliki satu hati yang sama."

Manis banget. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang