10; Teror Mantan

36 3 0
                                    

"Waktu zaman sekolah dulu, Mika selalu saya antar pulang. Nah, dalam perjalanan pulang itu kita sering mampir ke warung bakso, Mika selalu senang kalau saya ajak makan di situ, Mas."

Daffa bergeming. Tatapannya lurus, memerhatikan dengan air wajah terlampau datar dan tidak bersahabat. Membiarkan Jaka berceloteh soal masa lalunya, berikut pencapaian dan apa yang dilakukannya selama beberapa tahun belakangan ini. Sementara Mika terlihat sudah risau di dapur, tangannya gemetar ketika menyajikan dua cangkir teh hangat ke atas meja di ruang tamu.

"Silakan."

"Makasih, maaf merepotkan."

"Gapapa, silakan dilanjutkan."

"Iya, tentu."

Manik mata Mika sempat mencuri pandang pada Daffa, pria tampan itu memasang wajah dingin. Membuat Mika menelan salivanya sendiri, tak ingin terjadi sesuatu hal yang di mana melibatkan perkelahian di dalamnya. Terlebih Daffa sempat mendengar penuturan Jaka yang memuji kecantikan Mika secara gamblang.

Memutuskan untuk mengawasi mereka dari dekat, Mika pun duduk di sebelah Daffa. Namun, dibuat kembali beranjak dari sana ketika Daffa mengatakan, "Pulang dari kantor Mas menumpahkan minuman di tas, bisa tolong keluarkan laptop sama berkas dari dalamnya? Takut rusak."

"Iya, Mas."

Mika bergegas pergi dari sana, dan menghilang di balik tembok yang menyekat ruang tamu dan ruang keluarga.

Kini kembali pada mereka yang tengah berdiskusi, agaknya kali ini Daffa sudah tidak dapat berdiam dan menahan diri lagi untuk sekadar menanggapi apa yang telah Jaka katakan.

"Cantik, 'ya?" Daffa bertanya.

"Iya, Mas. Eh, maaf. Kenapa?"

Daffa mencondongkan tubuhnya, bertopang dagu dengan posisi sikut bertumpu pada kedua lutut. "Serius, Mas Jaka. Saya nggak tau maksud pasti dari kedatangan Anda kemari, selain memandangi istri saya yang cantik itu. Lagipula saya hanya melayani klien di kantor, dan catatan saya tidak melayani pemesanan dengan skala mikro. Mustahil Anda tidak mengetahui hal ini ketika mengaku melihat jasa yang saya berikan dari iklan, sementara di sana sudah tertera soal kriteria dan apa-apa saja yang dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan jasa dari saya."

"Tapi saya benar-benar membutuhkan jasa Mas dalam masalah ini, dan saya nggak ada maksud lain untuk...,"

"Saya menyarankan Anda untuk berkonsultasi dengan Pak Suhardi, dia akan membantu Anda dalam hal memberi saran, perencanaan, desain, dan sebagainya. Ini kartu namanya, dan untuk tambahan informasi, dia jauh lebih baik dalam hal menanggapi basa-basi."

Jaka terdiam, seketika tidak tahu harus mengatakan apa.

"Oh, oke. Kalau begitu saya permisi, Mas. Terima kasih untuk waktu dan sarannya. Salam buat Mika."

"Akan saya sampaikan."

Jaka melangkah ke luar rumah. Tidak berniat untuk sekadar kembali melirik ke arah dalam sana ketika tahu bahwa Daffa tidak melepaskan pandangan darinya.

Menyeramkan.

Seperti pembunuh berdarah dingin.

Daffa menutup pintu, di saat itu juga Mika langsung ke luar dari kamar dan mendapati air wajah sang suami yang begitu masam.

"Mas, tasnya nggak basah, kok. Tapi barang-barangnya udah aku keluarkan," Mika menjelaskan, sehingga perhatiannya tertuju pada pintu utama yang sudah tertutup. "Tamunya udah pulang, Mas?"

Daffa bergeming. Tak lama setelahnya ia memilih untuk masuk ke kamar tanpa sepatah kata apa pun. Melewati Mika begitu saja.

Ini tidak bagus. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang