"Kamu nggak takut sama saya?"
"Kenapa harus takut? Emang kamu pedofil?"
"Ya, nggak gitu juga. Maksudnya, kita baru saling mengenal selama satu bulan lamanya, apa kamu nggak apa-apa?"
"Kalau bisa secepatnya kenapa harus menunda? Mengingat dari segi fisik dan mental kita udah siap, apa yang kamu tunggu?"
"Saya takut kurang bertanggung jawab," Daffa menjawab, tidak ada ketertutupan di antara mereka. "Saya menanyakan hal semacam ini semata-mata karena kejelasan hubungan kita, saya takut kamu mengira kalau saya hanya bermain-main sama kamu. Tapi di satu sisi masih ada keraguan yang nantinya akan merugikan kamu."
Mika bertopang dagu, agaknya mulai memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh pria di hadapannya ini.
"Keraguan semacam apa yang nantinya bisa merugikan saya?"
"Saya takut membawa dampak buruk terhadap kamu. Dengan sikap dan juga emosi yang saya miliki, saya takut akan melukai kamu. Singkat saja, masih banyak kekurangan dalam diri saya."
"Kalau begitu saya akan menjinakkan kamu."
Daffa mengernyit heran. "Maksudnya?"
"Kita bisa aja saling melengkapi, dengan apa yang kamu miliki dan apa yang saya miliki. Keduanya akan saling menguntungkan apabila kita dapat bekerja sama," kata Mika, berusaha meyakinkan. "Terlepas dari semua itu, memangnya kamu masih kuat dengan tekanan sosial? Yang di mana tetangga suka nanya; kapan nikah? Ganteng doang, tapi belum nikah, canda nikah? Cantik doang tapi belum ada yang gandeng? Jujur, saya nggak tahan."
Daffa tertawa mendengarnya.
"Jangan ketawa," Mika mengingatkan dengan nada bicara begitu datar dan melankolis, meratapi nasib. "Selain apa yang saya sebutkan masih ada poin yang terlewatkan."
"Apa itu?"
"Saya nggak yakin kalau kamu akan kuat andai melepaskan saya hingga menikah dengan orang lain."
Pria itu mau tak mau harus mengakuinya, meski malu-malu. "Ya, harus saya akui, itu benar."
Mika tersenyum bangga karenanya. "Rata-rata hal yang saya katakan itu benar adanya, jadi jangan menyangkal."
"Saya nggak tau harus ngomong apa."
"Ya udah, biar saya yang ngomong. Saya suka kamu, kamu ganteng, di mata saya kamu cukup memenuhi kriteria ideal saya. Baik dari segi fisik dan attitude, dua jempol aja sepertinya kurang untuk mengapresiasinya. Saya suka kamu, kamu lebih suka saya. Sampai di sini paham?"
Daffa mengangguk.
"Apa perlu saya juga yang melamar ke rumah kamu?"
"Kebalik, dong."
Mika mengusap bagian belakang kepalanya. Merasa bingung. "Ya abis, kamu sendiri yang menginginkan kejelasan dari hubungan ini. Benar, 'kan? Apa salah?"
"Saya nggak menduga kalau kamu akan menanggapinya dengan baik," kata Daffa. Terkekeh pelan di detik selanjutnya. "Kalau begitu saya akan melamar kamu, Mika."
Daffa sama sekali tidak menduga bahwa akan memenuhi ucapannya itu, waktu berlalu begitu cepat. Baik dari sikap maupun sifat yang keduanya miliki kini berputar pada satu poros yang sama. Mengingat betapa beruntungnya Daffa hari itu, kini pria tersebut tampak menyunggingkan senyuman saat melihat wajah Mika pada pagi harinya yang terlampau cerah.
Kembali pada masa kini, yang mana Mika terlelap pada lengan Daffa setelah menghabiskan waktu menonton acara televisi semalam. Mika terlihat begitu nyaman, membuat Daffa tidak tega membangunkannya.
Membenarkan posisi tidur di atas sofa, Daffa mengabsen setiap poin wajah dari istrinya itu. Tersenyum ketika mengetahui bahwa sosoknya sudah bangun.
"Selamat pagi, Permaisuriku."
"Mulai, deh." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...