24; Selingkuhan

37 2 0
                                    

Mika tidak tahu ke mana perginya Daffa. Gadis itu bahkan sudah pergi ke segala penjuru tempat yang besar kemungkinannya menjadi tujuan Daffa, namun ia tidak mendapati apa pun. Menghela napas hiperbola seraya memutar kemudi, Mika masih berpikir keras ke arah mana akan melanjutkan pencarian. Setelah mengirimkan paket ke kantor pos, Mika memutuskan untuk pergi mencari pria itu terlebih setelah tahu bahwa ponselnya tidak dapat dihubungi.

Sudah mencoba untuk sekadar menghubungi pria itu, tetapi Mika tidak lantas dapat terhubung dengannya sebab suara seorang operator yang sabar menghadapinya. Mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak dapat dihubungi, Mika mengusap dada guna meredakan emosi dan juga rasa cemas yang terlampau banyak.

"Mas, kamu ke mana, sih?"

Mika memutuskan untuk menepi dan menyandarkan kepalanya pada punggung kursi, sekali lagi memikirkan ke mana sekiranya Daffa pergi.

Membayangkan ke mana sekiranya ia akan berlabuh apabila memiliki hal yang belum tertuntaskan, seketika saja Mika dibuat teringat akan satu tempat. Tempat di mana semuanya dimulai. Tidak ambil pusing, Mika langsung melesat ke tempat yang dimaksud. Terlepas dari misi pencariannya, Mika sudah merasa lapar mengingat hari sudah siang dan ia membutuhkan asupan makanan.

Setelah berkendara kurang lebih selama lima belas menit. Akhirnya ia sampai di tujuan.

Memarkirkan mobilnya di sekitar sana, Mika melangkahkan kakinya menuju sebuah kios.

"Eh? Neng Mika?"

"Iya, Mang. Seperti biasa, jangan pakai seledri. Garamnya sedikit aja."

"Iya, Neng. Siap, silakan ditunggu."

Mika tersenyum dan melenggang ke arah sebuah kursi kosong. Merasa tak sungkan kendati tempat tersebut sedang dalam keadaan cukup ramai, seperti biasa. Mengingat tempat ini sudah cukup terkenal sedari dulu, terlepas dari tempat yang sederhana, kedai ini mempertahankan cita rasa yang ada.

"Silakan, Neng."

"Makasih, Mang."

Mika terlihat mengaduk semangkok bakso yang dipesan, sempat dibuat mencari-cari sesuatu di sana.

"Eh, tolong ambil wadah sambal di belakang, dong," Mika menunjuk ke arah meja satunya. Di sana terdapat apa yang sedari tadi Mika cari sebab dirasa dibutuhkan untuk melengkapi hidangan. "Sama kerupuknya yang besar itu sekalian."

Daffa terdiam melihatnya.

"Kenapa?" Mika bertanya, bersikap seakan tidak terjadi sesuatu hal apa pun di antara mereka. "Nggak mau, 'ya?"

Pria itu menggelengkan kepalanya dan menyerahkan apa-apa saja yang Mika inginkan. Masih dalam keadaan tidak percaya.

"Oh, makasih."

"Sama-sama."

"Masnya kok sendirian ke sini?" Kata Mika, dengan pandangan tertuju pada mangkok bakso di hadapannya. "Masih sendiri, 'ya?"

"Saya udah punya istri, dia merupakan wanita paling baik yang pernah saya temui selama hidup ini. Tapi saya telah melakukan kesalahan yang melukainya."

Mika merasa tertarik. "Kenapa?"

"Beberapa kali saya mengecewakan dia, sehingga berpikir untuk tidak muncul lagi di hadapannya," Daffa mengusak hidungnya. Menatapnya dengan sendu. "Rasanya saya ingin pergi dan mengakhiri semua sampai di sini, saya tidak ingin membuat dia terluka lebih dalam. Tapi saya sadar akan kemampuan diri, saya tidak mampu tanpa kehadirannya. Di satu ketika saya merasa menjadi manusia paling egois di muka bumi, dan itu nyata adanya."

"Kamu mau jalan sama saya?"

Daffa tersenyum simpul. "Terus suami kamu gimana?"

Mika mengangkat kedua bahunya tak peduli. "Kita bisa aja melakukan semua ini di belakang suami saya. Terlepas dari risiko yang ada, harus saya akui kalau kamu cukup ganteng dan sesuai dengan tipe ideal saya."

"Astaga, being a bad girl, huh?"

"Kamu ganteng, saya suka. Saya nggak peduli."

Daffa menahan tawa, menutup bibirnya dengan kepalan tangan. "Ya ampun. Tapi saya memiliki banyak kekurangan."

Mika menghela napas. "Begitupun juga dengan saya, saya bahkan lebih memprioritaskan panci merah muda di rumah saya ketimbang mengurus suami dengan benar."

Daffa tertawa. "Jadi kita pacaran sekarang?"

Mika mengangguk. "Kita backstreet aja. Jangan sampai suami saya, dan istri kamu mengetahui hal ini. Promise?"

"Okay."

Sementara itu Pak Suryo; si pedagang bakso, terlihat tidak habis pikir melihat tingkah laku keduanya. "Zaman edan." Pikirnya. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang