07; Asupan Dari Daffa

40 5 0
                                    

"Mas, bangun."

"Hm, kenapa?"

"Udah pagi. Nggak kerja?"

"Hari ini Mas kerja agak siangan," Daffa menyahut. Meregangkan otot pada tubuhnya, berakhir pada dekapan hangat yang membuat Mika tak dapat pergi karenanya. "Kasih Mas kecupan selamat pagi? Hari ini Mas rasanya lemes banget, butuh energi tambahan."

"Nggak mau, kecuali Mas mandi dulu, cuci muka, terus sikat gigi. Kalau udah wangi nanti aku kasih."

"Kalau Mas mandi dulu, nanti harus ada tambahan, 'ya? Ciumnya jangan sekali, jangan di satu titik juga."

"Mau dicium di mana lagi memangnya?"

Dengan kelopak yang terbuka sebagian Daffa menunjuk bagian bibir, pipi, hidung, mata, kening, dan lehernya.

"Nggak kurang banyak, Mas?"

"Kurang, sih. Tapi itu terserah sama kamu yang mau kasih," suara serak Daffa terdengar begitu menggemaskan. Dengan muka bantal dan juga rambut berantakan pria tersebut berusaha untuk duduk, mengumpulkan sisa nyawa yang masih berkeliaran di alam mimpi. Hari ini Daffa tidur terlampau nyenyak, sehingga berat rasanya apabila harus meninggalkan kasur. "Mas mau mandi dulu. Kamu jangan mengintip."

"Ih, siapa juga yang mau mengintip?"

Daffa tertawa pelan. "Hei, body Mas gini-gini bisa bikin anak orang mati klepek-klepek, lho. Jangan salah sangka. Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa kalau liat Mas mandi."

"Terserah. Toh, udah sering liat badan Mas juga. Biasa aja, tuh."

"Lain ceritanya kalau badan Mas kena air."

"Mas mengigau, nih. Cepat mandi, sarapannya keburu dingin."

Mika beranjak dari ranjang, melangkah ke luar kamar dan berniat untuk membuatkan Daffa secangkir kopi. Sementara suaminya itu membersihkan diri, Mika telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan rapi. Tidak ingin mengulang kejadian yang sudah-sudah setiap kali menikmati makanan, hari ke hari Mika kian pandai dalam melakukan hal semacam ini.

"Permisi, Neng Mika?"

Merasa terpanggil, Mika lantas bergegas ke luar rumah saat mendengar suara tetangganya tersebut. Masih dalam keadaan pagi hari yang cerah, Mika sudah dihadapkan dengan salah seorang tetangganya—orang yang selalu Daffa imbau untuk tidak terlalu didengarkan ucapannya—situasi seperti saat ini membuat Mika tidak memiliki pilihan selain menemuinya. Berharap bahwa hal ini akan cepat berlalu tanpa adanya satu kesalahan apa pun.

"Ya, ada apa Bu Sugeng?"

"Ini, ada sedikit oleh-oleh dari suami saya yang baru pulang dari luar kota." Kata wanita tersebut seraya menyerahkan sebuah bungkusan pada Mika. Diterima dengan baik oleh Mika yang bahkan tidak tahu harus berkata apa selain ucapan terima kasih.

"Terima kasih, Bu. Maaf saya jadi merepotkan."

"Sama sekali nggak merepotkan, Neng. Santai, tapi mohon maaf itu oleh-olehnya sedikit, karena dibagi-bagi sama tetangga di sini."

"Gapapa, Bu. Ini udah lebih dari cukup."

Perasaan Mika sudah tidak enak. Rasa-rasanya ingin masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi dibuat kembali memerhatikan ketika sosoknya mengatakan, "Eh, Neng. Tau Bu Sukma yang tinggal di blok satu? Duh, semalam rumah dia ramai banget."

"Ramai kenapa, Bu?"

"Suaminya itu, dia ketahuan selingkuh. Habis dipergok massa, kejadian ini bisa diambil hikmahnya, Neng. Jangan terlalu percaya sama suami, mana tahu dia pergi ke kantor. Eh, malah main ke rumah wanita lain."

"Oh, gitu ya, Bu?" Mika berusaha mengikuti ke arah mana pembicaraan ini. Dilakukan semata-mata agar tidak memakan waktu percuma untuk sekadar membicarakan tentang tetangga mereka.

"Iya, Neng. Sebagai istri kita harus mengawasi suami."

"Um, bukan maksud hati nggak sopan, Bu. Tapi saya harus lanjut masak buat suami, kasian dia udah nunggu. Sekali lagi makasih buat bingkisannya, salam buat keluarga."

"Iya, Neng."

Mika melesat masuk ke dalam rumah. Perhatiannya sontak saja teralih pada Daffa yang baru selesai mandi, karena merasa mendengar suara air mendidih di dapur, pria itu spontan saja pergi ke dapur untuk mematikan kompor. Namun, bukan itu masalahnya.

"Kamu kenapa, Mika?"

"Gapapa, Mas."

"Tapi hidung kamu kok berdarah? Kamu mimisan, Sayang!"

"Eh? Iyakah?"

"Sini, duduk. Jangan menunduk, tarik napas perlahan...,"

"Baju kamu ke mana, Mas?"

"Mas belum sempat pakai baju. Keburu dengar suara air mendidih, kamu nggak ada di dapur, jadi Mas matikan dulu kompornya. Kenapa?" []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang