03; Pasutri Olahraga

98 6 3
                                    

Rutinitas akhir pekan yang biasa mereka lakukan adalah berolahraga pagi. Biasanya Daffa akan mengajak Mika untuk pergi ke alun-alun kota, mengingat di sana senantiasa diadakan car free day, membuat mereka yang berolahraga atau sekadar berjalan-jalan di sekitar sana merasa leluasa.

"Capek, Mas," Mika berujar. Peluh terlihat membasahi pelipis dan juga tubuhnya, napas gadis itu pun tak kalah mengenaskan mengingat sudah hampir dua jam lamanya mereka berlari santai di sekitar sini. "Kaki aku rasanya udah sakit banget."

Daffa sigap membantu Mika, membawanya ke tepian jalan dan duduk di sana. Tidak mengindahkan mereka yang sedang berlalu lalang di sekitar sana, sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas udah bilang sama kamu untuk tidak terlalu memaksakan diri dan ikut Mas lari lagi, sekarang coba luruskan kaki kamu."

"Lagian kalau Mas lanjut lari aku nunggu sama siapa?"

"Sama ibu-ibu yang lain di sana?"

"Nggak mau. Maunya sama Mas "

"Kamu udah mendapatkan Mas secara sepenuhnya, Sayang."

Mika terkekeh kecil. Kembali pada realita yang di mana kakinya masih terasa sedikit sakit, dan sepertinya hal ini akan berlangsung cukup lama mengingat ketika melakukan peregangan Mika tidak terlalu pandai, cenderung asal-asalan. "Maaf kalau aku merepotkan kamu, Mas. Tadinya aku cuma mau nemenin Mas joging, tapi malah jadi gini."

"Nggak merepotkan, wajar kalau kamu nggak terbiasa lari jauh. Lain halnya sama Mas."

"Emangnya Mas kenapa?"

"Dari zaman sekolah Mas udah biasa lari dari keadaan, jadi mau lari sejauh apa pun juga nggak akan terasa."

"Sekarang aku minta kamu agar jangan lari terlalu jauh, Mas."

Daffa mengernyitkan keningnya. Merasa ada hal aneh pada ucapannya saat itu. "Hm, kenapa Mas nggak boleh lari terlalu jauh?"

"Karena aku nggak bisa kejar Mas, kecuali kalau pakai motor, mungkin aku bisa menyusul Mas."

"Ini istri siapa, sih?" Daffa mencubit hidung Mika gemas. Dibalas tawa oleh gadis yang saat ini mengenakan pakaian longgar tersebut. "Jangan sampai kamu bersikap seperti ini sama cowok lain."

"Kenapa?"

"Mas akan cemburu."

"Kalau tetap aku lakukan, gimana?"

"Mas nggak akan janji kalau cowok yang kamu godain akan selamat sampai hari esok."

Mika mencubit bahu Daffa. Dibalas tawa renyah dari pria yang saat ini mengenakan jaket dari brand kenamaan tersebut. "Jangan macam-macam, Mas. Aku nggak suka kalau Mas sampai melukai orang lain hanya karena aku."

Pandangan Daffa berubah signifikan. Terkesan seperti mengintimidasi, memasang wajah serius. Namun, keadaannya berubah ketika pria yang memiliki potongan rambut sedikit berantakan itu mengatakan, "Semua akan Mas berikan semata-mata buat kamu. Tapi ada satu hal yang nggak boleh Mika ambil dari Mas."

Mika mengernyit. "Apa?"

"Jangan ambil perasaan Mas terhadap kamu."

Gadis itu spontan saja menutup wajahnya, merasa bahwa Daffa tidak akan melepaskannya sampai puas menggoda dirinya. Setidaknya hingga Daffa menarik tubuh mungil Mika ke dalam pelukannya, membuat siapa pun yang melihat hal tersebut gigit jari. Sebab melihat momen manis seperti itu hanya akan membuat mereka yang berlalu lalang tak memiliki pilihan selain berpura-pura tidak melihatnya.

"Mas, jangan di sini, malu...," Mika menahan wajah Daffa yang hendak mencium pipinya. Menertawakan diri sendiri yang terkadang tak kenal tempat dalam hal merealisasikan kasih sayang. "Udah mau siang, emang Mas nggak laper?"

Daffa berdeham sejenak. "Hm, lumayan laper, sih. Kamu mau makan di mana?"

"Aku pengen banget makan bakso di dekat simpang lima itu."

"Simpang lima yang mana?" Daffa bertanya. Wajahnya terlihat berseri-seri setiap kali berbincang dengan Mika, salah satu hal yang menambah nilai estetika dari hubungan mereka ini. Mempermanis rumah tangga—katakan saja begitu.

"Simpang lima tempat kamu...,"

"Kenapa? Kenapa sama aku?"

"Mas tau kelanjutannya, 'kan?"

"Mas nggak tau apa-apa kecuali Mas melamar kamu di tempat itu, tepat pada satu bulan kita pacaran." Ia bersikap seakan tidak peka terhadap apa yang Mika maksud, mengatakan semua itu dengan air wajah biasa saja. Kendati hatinya berdebar tak menentu.

Mika cemberut. Wajahnya tampak memerah.

"Iya, Sayang. Kita ke sana, 'ya?" Daffa mengalah. Bangkit dari duduk dan lantas berjongkok di depan Mika seraya mengatakan, "Naik ke punggung Mas. Kaki kamu masih sakit, 'kan? Udah pasti nggak kuat dipakai jalan, tempat parkiran mobil kita masih jauh dari sini."

"Jangan di tempat ramai seperti ini, Mas."

"Emang ada hukum yang melarang suami untuk berbakti pada istrinya sendiri, 'ya?" Daffa bertanya, tersenyum manis setelahnya. Masih pada posisi semula, berharap Mika tidak keras kepala dan menurut padanya.

Senyum kemenangan terpatri pada bibir Daffa ketika melihat lengan Mika pada bahu, tanda bahwasannya ia menyetujui kesepakatan gila kali ini. Membawa gadis favoritnya ke atas gendongan dan berjalan ke area parkir tempat di mana mobil mereka berada.

Tak ayal hal tersebut memancing desas-desus yang terdengar seperti suara koloni lebah.

"Wah, romantis banget ya, Bu."

"Suami saya dulu juga begitu."

"Gemes banget, jadi iri saya."

"Bau-bau pengantin baru, tuh." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang