"Aku mau punya anak, Mas!"
Daffa hampir tersedak, nyaris menyemburkan secangkir kopi yang sedang dinikmati. Ia tahu betul bahwa usianya masih terlampau muda untuk menderita gangguan pendengaran, Daffa yakin betul bahwa tidak salah dalam hal mendengar penuturan Mika yang terkesan begitu mendadak. Ini mengejutkan.
"Hah?"
"Anak, Mas. Aku mau punya anak!"
"Kamu pikir punya anak perkara gampang, Mik? Tinggal campur tepung terigu sama air, gitu?"
"Serius, Mas."
Daffa terkekeh pelan. Merengkuh pinggang Mika yang tak sungkan untuk duduk di atas pangkuan, tepat menghadap ke arahnya.
"Iya, Sayang. Tapi semua ini terlalu mendadak. Ingat, kamu sendiri yang bilang kalau kita perlu mempertimbangkan keputusan untuk melakukan semua ini," pria itu berusaha memberikan pengertian. "Jangan sampai kita terlalu gegabah dalam mengambil langkah selanjutnya, kita masih memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal ini, Mika. Percaya sama Mas."
"Aku kesepian kalau Mas berangkat kerja. Nggak jarang Mas kerja sampai malam," gumam Mika seraya memainkan jemarinya di sana, seperti seorang anak kecil yang merajuk ingin dibelikan balon. "Mas sendiri yang bilang kalau aku udah pantas jadi seorang ibu. Kita bisa belajar bersama-sama untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita kelak. Karena sejak awal kita bukannya nggak bisa punya anak, kita bisa, kok. Kita hanya menundanya."
Daffa berdeham sejenak.
Memikirkan keputusan yang sekiranya tepat untuk diambil. "Kamu bilang merasa kesepian kalau Mas pergi kerja?"
Mika mengangguk.
"Gini aja, Mas punya ide untuk membantu kamu biar nggak kesepian kalau Mas pergi kerja."
"Caranya?"
"Sebentar. Mas mau pergi ke luar dulu, kamu baik-baik di rumah."
"Mas mau ke mana?"
"Ada urusan sebentar."
Mika tidak protes lebih lanjut dan membiarkan Daffa pergi. Merapikan meja dan mencuci cangkir kopi suaminya, Mika berpikir keras soal apa yang saat ini sedang dilakukan oleh Daffa. Pria itu bahkan pergi ke luar rumah dengan celana pendek sebatas lutut, langsung mengeluarkan kunci mobil dan melesat pergi begitu saja.
Tidak akan munafik bahwa ucapan Erna sempat menghantui pikirannya, mengatakan bahwa tidak ada salahnya menambah satu anggota keluarga baru lagi di tengah-tengah mereka.
Dari segi fisik dan finansial, Mika dan Daffa dapat dikatakan mampu. Menyekolahkan anak mereka sampai ke jenjang perkuliahan, semua itu dirasa tidak terlalu membebani. Dengan perhitungan tepat mengenai biaya hidup dan keseharian yang nantinya akan masuk ke dalam hitungan pokok, Mika hampir selesai merencanakan semua ini. Tidak ingin melewatkan satu poin apa pun.
Tidak lama kemudian, Daffa sudah kembali.
Mika yang menyambut dengan tanda tanya di dalam benak pun terlihat memiringkan kepalanya, menerka-nerka apa yang sekiranya ada di balik tubuh pria tampan tersebut.
"Mas bawa apa?"
"Ada survei yang mengatakan bahwa hewan peliharaan dapat mengusir rasa jenuh dan kesepian. Jadi Mas belikan sesuatu buat kamu."
"Apa-apa?" Mika tidak sabar.
Namun, semangatnya dibuat jatuh ketika melihat apa yang Daffa bawa sebagai jalan ke luar dari masalah kesepian yang saat ini sedang Mika hadapi. Dengan wajah polos dan berbinar, dengan bangga Daffa memamerkan hasil buruannya.
"Ta-da!"
"Ini apa, Mas?"
"Anak bebek."
"Anak bebeknya overdosis obat atau gimana nih, Mas? Warnanya sampai biru begitu."
Daffa terkekeh kecil seraya menggaruk bagian belakang kepalanya. Merasa sungkan. "Nggak senang, 'ya?"
Mika terdiam. Saat ini ia jauh lebih perihatin terhadap kondisi hewan yang ada di dalam genggaman Daffa, kasihan mana masih muda. Tapi takdir telah bersikap kejam terhadapnya.
"Oke, gini aja," Daffa meletakkan anak bebek tersebut di atas meja, tak berselang lama dari itu Daffa mengemukakan sebuah pernyataan yang mengejutkan adanya. "Kita akan punya anak. Tapi dengan satu syarat."
Mika merasa tertarik. "Apa?"
Daffa mendekatkan wajahnya. Berada tepat di dekat tengkuk lehernya saat mengatakan, "Mas harus tetap menjadi nomor satu buat kamu." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
Lãng mạnDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...