15; Sinyal Dan Foto Bayi

28 2 0
                                    

"Mas, liat deh."

"Apa?"

"Foto bayi, teman aku baru melahirkan kemarin."

"Kamu mau liat keadaan teman kamu?"

Mika terlihat berpikir sejenak. Membenarkan posisi tidurnya pada dada Daffa yang saat ini tengah fokus menonton televisi, sebab tim sepak bola kesayangannya tengah bertanding di semi final. Mengatakan bahwa ini merupakan momen yang ditunggu-tunggu, akhirnya Mika pun menemaninya, kendati tidak mengerti soal seluk-beluk sepak bola sekalipun. Satu-satunya hal yang Mika ketahui adalah; beberapa atlet pria itu memiliki wajah yang tampan.

"Hm, nggak tau, Mas. Nggak enak juga kalau ke sana sendirian. Mas juga aku liat sibuk terus, aku juga nggak punya banyak waktu selain malam hari."

"Gimana kalau besok aja, hm?"

"Mas nggak keberatan?"

"Mas keberatan kalau harus gendong kamu sampai ke rumahnya. Kalau pakai mobil seperti biasa, udah jelas kalau Mas sama sekali nggak keberatan. Lagian jiwa raga ini buat siapa lagi sih, selain untuk kamu seorang?"

"Kamu ini ngegombal terus."

Daffa menyunggingkan senyum menyejukkan. Mengusap punggung Mika dengan ibu jari. "Emangnya ada hukum yang mengatakan kalau suami nggak boleh ngegombal ke istrinya, 'ya?"

"Ya, nggak ada, sih. Tapi tetap aja, apa yang kamu lakukan itu nggak baik untuk kesehatan jantung aku."

"Maafin Mas, kadang susah menahan diri untuk nggak godain kamu," kata Daffa berterus terang. Sama sekali tidak sungkan untuk blak-blakan ketika bersama istrinya itu. "Abisnya, kamu itu gemesin banget. Orangnya nggak bisa mengungkapkan perasaan dengan benar, selalu 'meledak' setiap kali melihat hal baru."

"Meledak gimana?"

"Waktu tempo hari kamu liat badan Mas, kamu sampai mimisan gitu."

Wajah gadis itu berubah menjadi kemerahan. "Emang dasarnya aku lagi nggak enak badan, Mas. Jadi kayak gitu, nggak ada korelasinya sama badan Mas."

"Iya, deh. Percaya," Daffa berujar dengan suara begitu serak. Kelopak matanya sudah terasa berat menahan kantuk. "Dengan begitu kamu mendapatkan kartu VVIP dari Mas, lho. Untuk mengakses fasilitas yang jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Apa?" Mika bertanya.

"Kamu boleh liat badan Mas pas lagi basah-basahan lagi."

Mika merotasikan bola matanya, merasa jengah atas sikap percaya diri suaminya yang di atas rata-rata. Nyaris sinting.

"Mas, kamu udah tidur?"

"Hm...,"

"Ingat besok kita harus pergi pagi-pagi banget. Kita harus belanja barang perlengkapan bayi."

"Hm...,"

"Hitung-hitung halu kalau nanti punya anak sendiri," Mika bergumam pelan. Namun, dibuat terperanjat ketika tahu bahwa Daffa belum tidur secara seutuhnya. Katakan saja bahwa ia masih sadarkan diri, kini pria tersebut terlihat memandang obsidian Mika dengan lekat. "Kenapa, Mas? Ada yang salah, 'ya?"

Daffa menggelengkan kepalanya. "Gapapa, Mas cuma mimpi; barusan kamu bilang kalau mau punya anak, terus Mas kaget."

Mika mendekap tubuhnya. "Kenapa harus kaget?"

"Karena Mas belum siap untuk menjadi panutan bagi anak-anaknya kelak. Terlepas dari itu muka Mas itu baby face, takutnya orang lain mengira kalau kita nikah dini, gara-gara udah keburu punya anak di luar nikah."

"Ngelantur kamu."

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi..., kenapa Mas harus takut? Ketika Mas punya kamu sebagai teman hidup?" Daffa berceloteh, kesadarannya kian terenggut oleh rasa kantuk yang menguasai. "Kamu..., merupakan apa yang Mas cari selama ini, Mas nggak mau meminta keturunan dari kamu dan membuat kamu tertekan. Karena tujuan berumah tangga bukan semata-mata demi memiliki penerus belaka..., Mas sayang kamu, Mika. Demi apa pun."

Mika tersenyum dan mencium pipi Daffa. Tahu bahwa pria itu telah melalui hari yang panjang. Ini merupakan saat yang tepat bagi siapa pun untuk beristirahat.

"Selamat tidur, Pangeranku." []

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang