36; Sugar Daddy

18 2 0
                                    

Entah hal semacam apa yang menghantui pikiran Daffa hingga tercetus sebuah ide untuk menculik Mika dalam artian yang sesungguhnya. Pria itu bahkan menggendong dan membawa gadis itu untuk masuk ke dalam mobil, tanpa adanya aba-aba ataupun petunjuk soal tujuan utama mereka meninggalkan rumah. Kini hal yang Mika dapati sejak terakhir kali menapakkan kaki di atas permukaan tanah adalah pepohonan yang lebat, jalanan yang senggang, dan waktu tempuh yang cukup lama. Tak akan munafik bahwa ada secercah rasa takut pada diri Mika.

"Kenapa diam aja? Takut, hm?"

Mika spontan menggelengkan kepalanya. "Nggak. Siapa yang takut?"

Daffa menyunggingkan senyum. Merehatkan salah satu tangannya dan mengemudi dengan baik, penampilannya terlampau tampan. Dengan kemeja berwarna putih yang cukup terbuka pada bagian dada, dan juga kaca mata hitam yang bertengger pada hidung lancipnya. Rambut yang disisir ke belakang, menyisakan anakan rambut pada bagian keningnya.

Sialan, Mika hilang fokus.

"Sudah sepatutnya kamu merasa takut. Karena saat ini kamu saya culik, nggak ada siapa pun yang mengetahui keberadaan kamu. Seru, 'kan?"

Daffa pasti sudah gila, kini Mika benar-benar dibuat memerhatikan sisi wajah pria itu. Memastikan bahwa sosok yang saat ini berada di sisinya merupakan suaminya; pria humoris, begitu hangat, dan pribadi yang tak sungkan untuk sekadar menggenggam tangan Mika apabila sedang berkendara seperti ini.

"Mas...,"

"Hei, don't call me like that, okay? Call me daddy."

Mika mendengkus geli. "So now I have to call you daddy? But you are my husband, not my daddy."

"Now I'm your sugar daddy, baby girl. Patuhi apa yang saya katakan dan semuanya akan baik-baik saja."

"Whatever."

Daffa terkekeh dan kembali fokus pada jalanan. Menyikapi sikap Mika yang begitu dingin.

"Tapi serius, lusa aku ada jadwal periksa kandungan." Mika kembali angkat bicara. Memberikan peringatan tidak tertulis namun nyata adanya terhadap Daffa, pria yang belakangan bersikap aneh. Dengan penampilan seperti itu, siapa pun tidak akan menduga bahwa Daffa memiliki kepribadian yang cukup unik.

Seperti alter ego.

"Iya, Sayang. Saya aka mengantar kamu ke mana pun itu, sebagai gantinya kamu harus mematuhi setiap keinginan saya untuk dua hari ke depan," kata Daffa, memberikan instruksi bersifat absolut. Tidak dapat diganggu gugat. "Seperti apa yang mereka katakan; nggak ada penolakan. Mengerti?"

"Kamu udah mengatakan hal itu lebih dari dua kali."

Keadaan di dalam mobil terkesan sunyi. Adapun hal yang terdengar tidak lebih dari sekadar suara gesekan ban dan permukaan aspal lembab di luar sana. Entah ke mana pria di sisinya ini akan membawanya pergi, semua ini seakan tidak ada habisnya.

Mika mulai berpikir untuk meminta bantuan pada seseorang di luar sana. Mengatakan bahwa seorang hot daddy telah menculiknya, dan keadaan itu membuatnya ketakutan.

Memuakkan.

Perhatian Mika sontak teralihkan pada nada dering ponsel Daffa, pria itu terlihat mengusap layar dan menjawab panggilan tersebut. Terlihat menyunggingkan senyum.

"Daffa, hari ini kita jadi meeting, 'kan?"

Ini mustahil.

"Sorry, Clara. Saya harus pergi ke luar kota untuk beberapa hari ke depan. Untuk dokumen yang saya janjikan tempo hari sudah saya titipkan pada Romi, kamu bisa menemuinya."

"Kay, berhati-hatilah di jalan."

Sambungan telepon terputus. Kini suasananya benar-benar berbeda, adapun berbagai persepsi di dalam benak yang menduga bahwa ada rencana melarikan diri. Baik sikap dan sifat Daffa yang tidak dapat Mika mengerti, semua bagai labirin yang menyesatkan.

"Kenapa liatin saya begitu, hm?"

Mika terhenyak.

"Sebisa mungkin saya menghindari apa-apa saja yang membuat kamu merasa tidak nyaman. Seperti menemui Clara, misalnya." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang