Saat di mana jadwal belanja bulanan harus dipenuhi sebab isi kulkas tak memberikan harapan untuk bertahan hidup, Mika memilih untuk pergi ke pasar tradisional. Ditemani Daffa yang kebetulan sedang libur, gadis itu dengan bahagianya melompat turun dari mobil.
"Ayo, Mas!"
"Sabar, Mas parkir mobil dulu."
Mika sudah menunggu di luar mobil sementara Daffa masih mencari posisi yang sesuai untuk memarkirkan kendaraannya itu. Perdebatan kecil sempat terjadi di antara mereka, sebab Daffa sempat meminta Mika untuk belanja di supermarket saja, tapi agaknya keinginan Mika untuk berkontribusi dalam hal meramaikan dan mendukung para pedagang kelas mikro lebih besar adanya. 'Kalau di pasar bisa ditawar, Mas' merupakan doktrin yang Mika terapkan padanya.
"Mau beli apa? Biar Mas bantu cari."
"Hm, yang kita butuhkan saat ini cuma bumbu dasar aja, sih. Seperti; bawang putih, bawang merah, bawang bombay, cabai, jahe, kunyit, tomat. Sama buah-buahan, yang ada aja. Sama Mas mau dimasakin apa? Biar aku gampang beli bahan-bahannya."
"Banyak banget, kayaknya Mas nggak akan ingat, deh."
"Masih muda udah pelupa."
"Karena setiap hari dibuat teringat terus sama kamu, pikiran Mas penuh sama kamu. Nggak ada tempat untuk mengingat hal lainnya."
"Jangan mulai, deh. Mas mau dimasakin apa? Cepet, keburu siang nanti bahan-bahannya nggak terlalu segar lagi."
"Iya, Sayang. Mas mau dimasakin rendang daging aja."
"Apa lagi?"
"Udah, itu aja. Selebihnya Mas mau kamu."
Mika tak tahan menahan senyumnya, memukul bahu Daffa merupakan pelampiasan terbaik ketika pria itu mulai mengatakan hal berlebihan soal apa pun itu. "Jangan jauh-jauh dari aku, nanti Mas tersesat di pasar lagi. Bisa ribet urusannya mencari serbuk berlian di tengah kerumunan orang yang lagi belanja."
"Mulutnya itu, lho. Iya, deh. Istri Mas udah pinter banget bikin napas suaminya abis."
Mika terkekeh pelan dan masuk ke area pasar. Langsung mendatangi tempat di mana ia pernah membeli daging sapi dengan kualitas bagus, diikuti oleh Daffa yang mengenakan pakaian santai saat pergi ke pasar; kaos oversize, dan celana army sebatas lutut.
"Ibu, harga daging sapi sekilonya berapa?"
"160 ribu, Neng."
"Kalau 155 ribu, dikasih? Kalau dikasih saya beli dua kilo."
"Duh, belum, Neng. Udah harga pasnya segitu."
Kemampuan bernegosiasi Mika diuji di sini. Sempat berpikir sejenak seraya memastikan bahwa kondisi daging yang hendak dibeli masih dalam keadaan segar dan layak konsumsi, hingga sebuah ide tercetus di dalam benak.
"Kalau 155 ribu, ditambah foto bareng suami saya, mau?"
Daffa hampir memekik di saat itu juga.
Teganya kamu mempertaruhkan harga diri Mas demi lima ribu perak, Mika! —batin Daffa berteriak ketika menarik napas dalam-dalam.
"Boleh, boleh!"
Cobaan macam apa ini?!
Daffa hanya dapat pasrah, membiarkan Mika meminta ponsel si ibu pedagang untuk memotret mereka. Berpose alakadarnya, Daffa tidak ambil pusing karena mau diambil dari sudut manapun sama saja adanya, sama-sama paripurna.
"Terima kasih, Bu." Mika berujar santun.
"Sama-sama, Neng."
Langkah Mika terpacu untuk mengunjungi pedagang selanjutnya, tawar menawar kembali terjadi.
"Harga bawang merah sekilonya berapa?"
"40 ribu, Neng."
"Kalau 35 ribu, ditambah foto sama suami saya, boleh?"
"Buat apa? Saya, 'kan laki-laki, percuma juga kalau dipamerin."
"Buat jadi motivasi hidup, Mas. Karena meskipun Masnya ganteng suami saya jauh lebih rupawan." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomansaDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...