34; Bajingan

15 2 0
                                    

Keadaannya sempat sulit. Namun, Daffa yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Maka ketika Mika tertidur di malam harinya, Daffa memutuskan untuk pergi ke luar. Mencari udara malam yang dirasa baik untuk membantu dalam hal menyegarkan pikiran, sebab ada saat di mana apa yang kau suka justru membuatmu merasa lelah. Sebab Daffa begitu, merasa lelah dan tidak ingin membuat siapa pun terluka karenanya. Tidak lagi. Pria itu tidak ingin melukai Mika untuk yang kedua kalinya.

"Tumben ngajak ke luar."

Daffa tidak menggubris, kembali menenggak minuman kaleng yang disinyalir memiliki kandungan alkohol di dalamnya. Membenarkan posisi duduknya di sebuah kursi taman.

Romi yang menyaksikan hal tersebut hanya dapat menghela napas, tak ambil pusing untuk sekadar melangkah ke arah mesin minuman yang terletak tidak terlalu jauh di sana. Menyaksikan temannya yang satu itu dalam keadaan kacau membuat keadaan mentalnya memburuk, tidak dapat mencari jalan ke luar sehingga terjerumus ke dalam lubang yang sama. Ini tidak terlalu bagus.

"Kenapa?"

Hati Daffa seakan diremas, mendengar pertanyaan terlampau singkat dan sederhana dari Romi. Entah apa yang terjadi, belakangan situasi hatinya terasa buruk. Ada saat di mana ia tertawa, sehingga menangis di detik selanjutnya.

"Nggak sehat." Romi bergumam seraya membuka klip penutup kaleng minumannya, menenggak sebagian jus lemon yang dibeli. Hampir tidak angkat bicara ketika Daffa mulai kacau, melipat kedua kakinya di atas kursi dan menenggelamkan wajah di sana.

"Capek, Rom."

"Kuatkan hati ini, Tuhan."

Daffa bergeming di sana, masih dalam keadaan posisi semula yang di mana tidak menampakkan wajah masamnya.

Romi yang menyadari hal tersebut tidak berkomentar apa pun, sebab di saat seperti ini ada saatnya seseorang hanya ingin didengar. Bukan diam dan mendengarkan. Romi mengerti itu.

Perhatian Daffa sontak saja teralih ketika merasakan genggaman pada kaleng minumannya, di sana Romi terlihat membuang minuman yang sedari tadi ditenggak oleh Daffa. Suara kaleng yang diinjak sontak saja memenuhi indera pendengaran, kali ini Romi benar-benar serius atas apa yang dilakukannya.

"Udah gue bilang berapa kali untuk nggak menjadikan minuman sebagai pelarian, hm?"

Daffa bungkam karenanya.

"Hadapi, Daffa. Hadapi! Apa pun juga nggak akan selesai andai lo memilih untuk melarikan diri, paham nggak?!"

"Kenapa jadi ngegas?"

Romi terdiam seketika, sempat mematung di sana sebelum kembali ke tempat semula dan menyodorkan sebuah botol berisi jus kranberi pada Daffa. Harap-harap dapat menetralisir alkohol yang baru saja ditenggak olehnya.

"Maaf, saya terbawa suasana," gumam Romi. Terlihat enggan menatap kedua mata Daffa yang saat ini menatapnya dalam diam. "Jangan liatin saya seperti itu, kalau sampai kamu jatuh cinta mau ditaruh di mana harga diri saya?"

Daffa tersenyum simpul dan menerima minuman yang disodorkan oleh Romi, membuka penutup botol tersebut sebelum meminumnya dengan senang hati.

"Saya pernah berada di posisi kamu, Daffa. Kamu tau sendiri bagaimana sifat mertua dan orang tua saya. Keduanya sama-sama keras kepala, dan karena hal itu saya terjebak di antara dua titik, maju kena mundur kena. Serba salah."

"Saya tau kalau kehidupan berumah tangga itu nggak gampang, katakan aja kalau kita memiliki satu tanggung jawab lagi terlepas dari mengurus diri sendiri," Daffa bergumam. Menyandarkan tubuh pada punggung kursi taman tersebut. "Belakangan saya merasa hancur. Hal yang semula saya kira dapat diatasi, semua seakan berbalik kepada saya. Karma, satu-satunya hal yang saya salahkan dalam kasus ini. Kamu tau rasanya kayak apa?"

Romi mengernyit. "Apa?"

"Seperti seorang bajingan."

Romi mendengkus geli.

"Gini, Daff. Apa pun yang sedang kamu hadapi, kamu harus menghadapinya. Semua pasti akan ada jalan ke luarnya. Kalaupun nggak ada, kamu tau harus apa?"

"Apa?"

"Membuat peta baru. Dengan tujuan yang baru." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang