44; Balas Dendam Sahabat

15 2 0
                                    

"Kok bisa?"

"Nggak tau juga, kayaknya overdosis mi ayam bawang tambah telur, deh."

"Astaga, serem banget."

"Iya, ngomong-ngomong makasih karena udah jauh-jauh datang ke sini, Rom. Abis saya bingung mau minta tolong sama siapa, angkat Mas Daffa sendirian melebihi beban dosa saya, beratnya nggak ketulungan." Mika mencurahkan isi hati dan juga kepalanya. Terkesan seperti curhat ketimbang berterima kasih.

Romi terkekeh pelan.

"Gapapa, Mika. Santai aja. Um, yakin nggak mau dibawa ke rumah sakit?" Romi bertanya, kendati demikian pria itu bersuka cita dalam diam. Melihat cara kerja karma yang dirasa begitu cepat menyerang Daffa, dengan apa yang telah dikatakannya soal istri dan janda, Romi rasa ini merupakan hal setimpal yang dapat Daffa rasakan.

Kasihan, sih.

Tapi bohong.

"Nggak usah. Nanti kalau lapar juga dia bangun. Oh, kamu mau minum apa, Rom? Biar saya ambilkan."

"Nggak usah, kebetulan saya nggak bisa lama-lama di sini. Ada keperluan lain, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi saya."

"Oh, gitu. Sekali lagi makasih ya."

"Iya, sama-sama. Titip salam buat Daffa kalau dia bangun. Saya pamit dulu."

Romi tersenyum dan melangkah ke luar kamar, tak berbasa-basi lebih lanjut soal apa yang telah terjadi. Tanpa aba-aba Daffa tergeletak secara tak berdaya di dapur, Romi yang mendengar kabar dari Mika pun lantas bergegas menghampirinya. Membantu dalam hal menjadi kuli panggul, membawanya ke kamar dan menidurkannya dengan layak.

Sementara itu, Mika terlihat masih cemas.

Entah apa yang telah Daffa alami sehingga tidak dapat mengontrol diri dalam hal mempertahankan kesadaran. Jatuh tak sadarkan diri begitu saja, tak ayal membuat Mika panik.

"Kamu kenapa, sih? Mas, bangun!"

Mika menepuk-nepuk pipi Daffa, harap-harap pria itu akan bangun dan pulih seperti sedia kala. Namun, tak membuahkan hasil apapun. Setidaknya hingga Mika mendekatkan wajahnya, gadis itu merasakan bahwa bagian belakang kepalanya ditekan. Memaksa Mika untuk mendekatkan diri, membuat bibir keduanya bersentuhan.

"Sialan, Si Romi." Daffa bergumam.

Mika merasa tidak habis pikir. Setelah apa yang terjadi Daffa justru mempermasalahkan hal demikian.

"Ih, kenapa?"

"Dia keliatan senang pas tau kalau Mas collapse."

"Nyebut, Mas! Mas baru aja sadar."

Daffa terkekeh dan menarik Mika ke dalam dekapan. Menghirup aroma rambut istrinya itu.

"Mas yakin kalau kamu khawatir, Mas yakin kalau kamu nangis-nangis takut Mas kenapa-napa. Kamu takut Mas berpaling ke bidadari di dalam mimpi sampai nggak bisa nahan diri buat cium bibir seksi Mas ini."

"Mending nggak usah bangun sekalian, Mas."

"Jahat sekali, Sayang. Diajarin sama siapa, sih?"

"Tau, ah!"

Daffa tidak dapat melakukan upaya lebih dari sekadar mencegah Mika untuk pergi. Menggenggam tangan mungilnya, mempertahankan posisi seperti semula-dapat menghirup aroma vanilla dari tubuhnya-Daffa tidak membutuhkan apapun selain mendapatkan Mika kembali.

"Jangan pergi. Mas masih tremor."

"Bodo amat."

"Tega kamu, dek."

"Biarin!"

"Mas sayang sama kamu, lho."

"Nggak nanya, Mas. Serius." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang