29; Permintaan Maaf

19 2 0
                                    

Daffa masih merasa tidak percaya, begitupun juga dengan Mika. Pria itu terlihat tercenung di dapur, ditemani sang istri yang sedari tadi terlihat memerhatikan, diam-diam mencemaskan keadaan Daffa yang membisu seribu bahasa. "Mas? Mau aku ambilkan air?"

"Jangan banyak bergerak, Mik. Nanti kamu kelelahan." Katanya dengan pengucapan yang begitu datar dan minim ekspresi. Pandangannya begitu kosong, membuat Mika semakin mengkhawatirkannya. Kondisi seperti ini baru kali pertama disaksikannya.

"Aku cuma mau ambil air, Mas. Bukan membangun seribu candi."

"Tetap aja, duduk."

Mika menghela napas hiperbola, patuh terhadap perintah Daffa. Tidak berkomentar lebih lanjut. "Iya, Mas."

"Kamu di sini aja, jangan ke mana-mana. Mas butuh kamu, apalagi hari ini Mas baru aja terguncang hebat."

"Kamu sendiri yang bilang; akan menerima apa pun hasilnya. Kita mau punya anak, Mas. Bukan divonis mati."

"Tetap aja Mas masih meras terkejut," Daffa berterus terang. Di detik selanjutnya ia mengimbuhkan, "Kok, Mas jadi merasa berdosa sama kamu, 'ya?"

"Mas suami aku, bukan orang lain, lho."

"Biasanya juga kalau Mas goyang nggak sampai hamil."

"Mungkin udah jalannya harus begitu."

Daffa mengusap wajahnya frustrasi, entah mengapa ia merasa tertekan di sini. Berbanding terbalik dengan apa yang Daffa katakan sebelum pergi ke rumah sakit, semula ia begitu tangguh. Kini Daffa justru bersikap sebaliknya. Terlihat begitu panik, mencemaskan segala sesuatu hal yang sekiranya terjadi.

"Maafin aku, Mika."

Mika tersenyum simpul dan mengusap bahu Daffa, berharap dapat memberi sedikit kekuatan.

"Kenapa minta maaf, Mas?"

Daffa menggelengkan kepalanya sekilas. "Mas merasa bersalah. Secara nggak langsung Mas telah membuat kamu menderita."

"Nggak gitu, Mas. Seharusnya kita bersuka cita menyambut kehadiran anak ini, buah cinta dari kita berdua."

"Tapi...,"

"Udah, Mas," Mika menarik tubuh Daffa, mengusap bagian belakang kepalanya ketika mendarat di dadanya. Menenggelamkan wajahnya di sana. "Kita udah membahas hal ini sejak tiga jam yang lalu, sekarang udah malam. Kamu capek, aku capek. Ada baiknya kalau kita membahas hal ini besok, oke?"

Daffa mengangguk. Wajahnya terlihat kacau ketika menarik diri dari dekapan gadis itu. Beberapa poin pada wajahnya terlihat memerah, ia terlihat begitu menyedihkan.

"Mas-ku? Daffa-ku? Gantengku?" Mika berujar. Meminta atensi dari pria tersebut. "Mana senyumnya?"

Daffa memejamkan matanya lelah dan tersenyum manis. Mendapatkan kecupan manis dari Mika ketika sosoknya sedang lengah.

"Nakal."

"Kamu suka, sih. Aku bisa apa?"

Daffa terkekeh. "Benar juga."

Mika mengangkat kedua tangannya. Meminta hal lebih untuk malam ini, membuat Daffa hanya dapat tersenyum melihatnya. "Gendong aku ke kamar?"

"Sesuai keinginan Anda, Tuan putri."

Mika tersenyum penuh kemenangan. Melingkarkan tangannya pada leher sang suami, mengikuti ke arah mana pergerakannya. Sebenarnya Mika tidak tega meminta hal lebih, tapi setidaknya dengan begini mereka dapat melupakan ketegangan yang sempat dirasakan. Membuat atmosfernya terasa abnormal.

"Aku sayang kamu."

Daffa sedikit menoleh saat menurunkan tubuh Mika. Membelakangi ranjang, kini pria tersebut terlihat melingkarkan tangannya di sekitar area pinggang sang istri. Menatapnya begitu dalam. "Dan sudah pasti kamu tau apa yang akan Mas katakan."

Mika tertawa pelan, meletakkan telapak tangannya pada dada bidang pria tersebut.

"Ini merupakan awal yang baru bagi kita, Mas."

"Iya, di saat seperti ini aku justru bersikap seperti seorang pengecut."

"Kamu akan menjadi seorang ayah yang baik, aku percaya itu."

"Dan kamu akan menjadi seorang ibu yang baik. Merupakan suatu kehormatan dapat memanggil kamu dengan sapaan Sayang di setiap harinya," Daffa tersenyum. Melumat bibir ranum Mika, mendesak gadis itu untuk melangkah mundur dan menjatuhkan diri di atas sprei katun yang semula rapi, kini terlihat sedikit berantakan sebab tekanan yang ada di sana. Berada pada posisi saling menatap satu sama lain, pria itu menyunggingkan senyum misterius. "Aku cinta kamu, Mik."

Mika terkekeh kecil. "Iya, Mas. Aku tau itu."

Daffa terlihat murung. "Bales, dong."

"Bales apa?"

"Bales; aku juga cinta sama kamu."

"Nggak mau."

Pria itu kian mendesaknya, membuat Mika tertawa karenanya.

"Iya, aku cinta kamu. Puas?" []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang