Bukan niat hati tidak percaya pada fitur antar barang yang terdapat di aplikasi ojek online. Mika hanya ingin memastikan keadaan Daffa dan mengantarkan berkas ini padanya. Karena apabila apa yang dikatakan oleh Romi itu benar adanya, maka Mika patut merasa khawatir. Tidak ingin Daffa berlarut-larut dalam masalah, Mika tahu bahwa ada saat di mana seseorang dapat merasa tertekan atas apa yang dialami.
Melangkah melewati lobi dan sempat menyapa beberapa orang yang secara kebetulan berpapasan dengannya, Mika memasuki lift dan tak ragu untuk menekan tombol yang nantinya akan membawa gadis itu pada lantai yang dituju. Tempat di mana ruangan suaminya berada, ia sudah tak asing lagi dengan tempat ini.
"Mika, syukurlah kamu udah datang."
"Di mana Mas Daffa?"
Romi terlihat berpikir keras. "Ada di ruangan dia, sih. Tapi ada baiknya kalau berkas itu biar saya yang kasih ke dia, karena melihat keadaan kalian, duh. Saya nggak mau sampai terjadi keributan di sini, kasian ke kalian berdua kalau sampai jadi bahan gosip di kantor."
Mika tak memberikan respon berarti. Melewati tubuh Romi dan masuk ke dalam ruangan suaminya.
Romi hanya dapat meringis sambil mengusap poin wajahnya saat bergumam, "Dasar pasutri nggak jelas."
Sementara itu, di dalam ruangan Daffa keadaannya sudah kacau. Tidak beraturan. Dokumen dan kertas yang entah apa isinya berserakan di atas karpet, rupa dari meja kerja yang biasanya tertata rapi pun sama saja keadaannya. Di baliknya, ada sosok Daffa yang agaknya belum sempat menyadari kehadiran Mika di sana.
Penampilannya memang terlihat sedikit berantakan. Namun, masih cukup manusiawi, pikir Mika.
Gadis yang saat ini mengenakan blus berwarna lembut tersebut terlihat mendekati Daffa, duduk di atas permukaan meja, tepat di depannya. Ia sama sekali tidak melakukan apa pun di sana selain menatapnya sejenak—pikiran keduanya seketika saja terasa abnormal—tidak mengatakan apa pun. Mika yang atas dasar keinginan personal pun meraih dasi yang dikenakan Daffa, membukanya. Beralih pada kancing kemeja, gadis itu membukanya satu per satu hingga sampai pada bagian perut rata Daffa.
"Kalau pakai kemeja yang benar, Mas," Mika berujar seraya merapikan pakaian yang dikenakan Daffa. Kembali memasang kancing pada kemejanya, dan beralih pada dasi berwarna hitam tersebut. Telaten, ia memasangkannya pada kerah Daffa. Membuat simpul dasi yang begitu rapi sehingga sedap dipandang mata. "Kalau rapi jadi ganteng, 'kan?"
"Pintu rumah udah kamu kunci?"
Mika spontan menggelengkan kepalanya. "Nggak aku kunci, karena di sana udah nggak ada apa-apa lagi."
"Maksudnya?"
"Karena baik rumah maupun harta yang aku punya ada di sini," Mika menunjuk dada Daffa. Wajahnya terlihat memerah, gadis itu tidak terlalu pandai dalam melakukan hal semacam ini. "Jadi aku nggak butuh apa pun lagi. Selain kamu."
"Terus panci merah muda kamu gimana?"
"Jangan merusak suasana, Mas. Tolong, aku udah memikirkan kata-kata ini selama dalam perjalanan, tau nggak?"
Daffa terkekeh dan menarik Mika ke dalam dekapannya. Pria itu tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika dihadapkan dengan situasi seperti ini. "Jangan kamu rusak perasaan Mas ini, Mika. Ternyata Mas nggak sanggup menjalaninya."
Mika menyunggingkan senyum ketika Daffa menarik tubuhnya tepat ke atas pangkuan. "Dan kamu jangan bersikap seperti itu, sampai nggak mau makan, nggak mau aku ajak ngobrol. Hati aku sakit, tau nggak? Di dalam sini rasanya berdarah-darah."
"Sini biar Mas obati."
"Jangan main cium aja, Mas! Nih, berkasnya, katanya mau ada rapat."
"Rapatnya nanti aja. Bisa ditunda."
"Terus kalau kamu nggak kerja mau kasih aku makan apa?"
"Makan cinta." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...