46; Mencari Pertolongan

20 2 0
                                    

Rasanya Mika ingin memberontak. Memecahkan kaca dari mobil ini atau apa pun itu yang bersifat anarkis. Namun, berkaca pada diri sendiri yang sedang dalam keadaan mengandung, Mika sontak mengurungkan niatnya dan berusaha tenang sambil mencari jalan ke luar dari semua ini.

Kini Mika berada di dalam genggaman seorang pria yang tidak memiliki akal sehat. Membawa Mika pergi begitu saja dari rumah, alih-alih mengajak berbincang ia justru memaksa Mika untuk ikut.

"Lepasin saya, Jaka. Kamu nggak sehat kalau berniat membawa saya pergi sejauh ini."

Jaka menyeringai lebar. Masih dalam keadaan tidak sadar atas apa yang telah dilakukan, pria itu terlihat begitu menyeramkan. "Jangan munafik, Mika. Saya tau kalau kamu masih memiliki perasaan terhadap saya, sekarang kita akan memulai hidup baru. Tanpa gangguan siapapun."

"Sialan! Gila kamu!"

"Saya memang udah gila, apalagi sejak hubungan kita berakhir. Saat itu saya nggak sadar, Mika. Saya bodoh apabila melepaskan kamu untuk yang kedua kalinya."

Mika merasa marah. Jelas, ini sudah tidak beres lagi. Melihat perangainya yang begitu menyedihkan, Mika ingin segera pergi dari sini. "Saya udah menikah, Jaka. Kamu juga udah menikah, jangan kekanakan. Sebelum terlambat, sebaiknya kamu putar balik, dan jangan bermimpi bisa membawa saya ke tempat yang kamu inginkan!"

"Cukup, Mika."

"Putar balik, Jaka."

"Mika...,"

"Gue bilang putar balik, dasar bajingan—"

Mika merasakan sisi wajahnya memanas. Bukan karena merasa malu, tetapi karena sebuah tamparan telak yang sontak membungkamnya. Hati Mika tak dapat membendung kesedihannya lagi, menunduk di sana dan menyembunyikan wajahnya. Mika tahu bahwa upayanya dirasa sia-sia saja.

Satu-satunya hal yang diharapakan Mika saat ini ialah kehadiran Daffa.

Mika tidak dapat menghubungi pria itu, karena tidak membawa ponsel. Apabila membawa ponsel sekalipun Mika tidak tega apabila harus mengatakan bahwa ia baru saja diculik oleh mantan sewaktu SMA.

Tidak.

Mika harus percaya pada intuisi. Memanggil Daffa di bawah alam sadar.

Astaga, rasa-rasanya Mika hilang akal. Seketika saja memercayai mitos yang di mana mengatakan bahwa orang yang satu frekuensi dapat mendengar suara dari dalam dirimu.

"Nggak usah nangis. Kamu akan saya bahagiakan, katakan aja kalau apa yang akan saya lakukan bisa lebih dari suami kamu."

Sialan. Mika kian dibuat tidak habis pikir. Jadi hal semacam ini yang dinamakan terjebak di dalam situasi yang sulit. Ah, merepotkan.

"Ah, perut saya sakit."

"Nggak usah ada acara drama segala. Saya tau kalau kamu cuma bikin alasan aja."

Mika meringkuk di sana. Kembali menyandarkan tubuh pada punggung kursi, meresapi nyeri yang teramat pada perutnya tersebut. "Serius, Jaka. Saya nggak bohong."

Jaka menghela napas. Menepikan mobilnya, hendak memeriksa kondisi Mika. Pria itu sempat turun dan mengitari mobil, membuka pintu di sisi Mika guna memberikan sedikit ruang.

Namun, belum sempat sepatah kata lolos dari bibirnya, tiba-tiba saja sebuah bogem mentah mendarat pada sisi wajah. Membuatnya terhuyung dan hampir jatuh, sempat memasang kuda-kuda sehingga siap dalam kondisi apapun.

"Siapa bilang lo bisa lolos begitu aja, hm?"

Rasanya kedua manik mata Mika memanas. Menerima uluran tangan dan bersembunyi di balik tubuh tegap sosok yang baru saja datang menolongnya. Memberikan sedikit jarak ketika ada serangan tak terduga.

"Bajingan lo, pecundang! Nggak bisa membahagiakan istrinya sendiri!" Jaka berdecak kesal. Menyasarkan pukulan pada perut sang lawan, memberikan sedikit jeda untuk mempersiapkan diri. "Sejak awal kehidupan gue sama Mika baik-baik aja. Seenggaknya sampai lo datang ke kehidupan gue! Lo ambil semuanya dari gue!"

Daffa menghela napas.

"Dengar, yang bajingan di sini adalah lo sendiri, dan perlu lo ketahui. Sejak awal lo sendiri yang menyia-nyiakan Mika! Mikir! Selama ini gue ada buat dia, lo ke mana aja baru sadar sekarang? Dasar bocah." []

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang