Rasa cinta Daffa dan Mika terhadap panorama pantai nyatanya tidak dapat diragukan lagi. Terlihat dari pemilihan destinasi yang dituju, rupanya Daffa telah merencanakan perjalanan ini dari jauh-jauh hari. Terdapat beberapa perubahan dalam hal memilih hari, tetapi semua itu tidak memengaruhi apa pun. Termasuk dalam hal bersenang-senang dan menikmati liburan singkat mereka.
Sore hari menjelang, mereka terlihat menyusuri pesisir pantai yang tak terlalu ramai. Menggenggam tangan Mika dengan lembut, Daffa tidak ingin merusak semua ini dengan tindakan sederhana yang dirasa melalui batasan. Semisal; membiarkannya berjalan seorang diri, tidak memerhatikan hal kecil seperti bagaimana perasaannya saat ini, bahkan mengatakan topik pembicaraan yang dirasa mengganggu seperti pekerjaan, atau hubungannya dan Clara.
Pria itu menginginkan hal terbaik untuk Mika. Segala daya upaya akan dilakukannya semata-mata demi gadis itu.
"Serius, Mas. Belakangan kamu bersikap aneh."
Daffa tertegun. Menoleh ke arah sumber suara dan mendapati sorot mata yang meredup di sana. Senyumannya terlihat hambar.
"Aneh gimana?"
"Aneh aja. Kamu lebih suka diam ketimbang membicarakan hal sepele, cenderung menyimpan semuanya sendiri," genggaman tangan Mika sontak mengeras, meminta atensi langsung dari Daffa yang terlihat tak terlalu mengindahkan ucapannya itu. "Aku merasa bahwa ada yang salah di sini. Semuanya nggak benar, kamu pasti nggak baik-baik aja saat ini. Apa karena kehamilan aku?"
Daffa terkejut.
"Nggak gitu, Mika. Kamu tau kalau saya menerima apa pun kondisinya, termasuk kehamilan ini."
"Entah kenapa aku mengharapkan hal lebih," celetuk Mika. Mengayun-ayunkan tangannya di sana. "Mulai sekarang kamu bisa berterus terang terhadap apa pun itu. Aku nggak akan merasa keberatan."
Daffa terlihat berpikir, tersenyum di detik selanjutnya. "Jauh dalam diri saya ada jiwa seorang anak tujuh tahun yang takut posisinya tergantikan oleh anak kita. Meskipun begitu saya tau kalau kamu akan bertanggung jawab dan mencintai saya apa adanya. Begitupun sebaliknya," Daffa tak sungkan mencondongkan tubuhnya. Meletakkan kepalanya pada bahu Mika, sejenak menghela napas di sana. "Ada saat di mana apa yang saya jalani jutru menjadi ketakutan terbesar saya. Kamu, Mami, semua itu secara tak langsung membuat dada saya terasa sesak."
Mika merentangkan tangannya dan mendekap erat tubuh Daffa, sama sekali tidak merasa keberatan atas apa yang baru saja dikatakan olehnya.
"Aku tau bahwa apa yang saat ini kita jalani terasa begitu sulit. Maksud aku, kita masih muda. Tapi perlu kamu ketahui, jangan menyalahkan diri sendiri. Apa yang kamu lakukan terhadap aku, semua itu mungkin merupakan garis takdir yang harus kita jalani," kata Mika. Berusaha untuk sekadar menenangkan Daffa, meyakinkan pria itu bahwa tidak ada yang patut disesali di sini. "Tegakkan kepala kamu, Daffa. Lihat aku, aku di sini. Bukan di bawah sana."
Daffa mengangkat wajahnya, menatap obsidian gadis itu dalam-dalam.
"Terima kasih," gumam Daffa, merengkuh pinggang Mika. "Terima kasih karena tidak menyerah terhadap saya."
Mika mengangguk. "Selalu, Mas. Jangan sampai ada kata menyerah di antara kita."
Daffa menggulum senyum dan mengangguk. Namun, apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya tidaklah terduga. Daffa mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo? Kenapa, Sayang?"
"Mika hamil, Mami. Tetapi Daffa minta agar Mami tidak terlalu banyak berharap bahwa Mika akan menetap bersama Mami sementara waktu. Karena saat ini Daffa menginginkan waktu untuk berdua, salah, bertiga. Daffa ingin meluangkan waktu bersama keluarga kecil Daffa di sini." []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...