Mika menunggu Daffa dengan risau. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi Daffa belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah. Ini tidak biasanya terjadi, mengingat jam pulang kantor sudah sekitar empat jam yang lalu. Logikanya, apabila terjebak macet atau mengalami mati mesin mobil tidak akan menyita waktu selama ini. Ditambah ponsel Daffa tidak dapat dihubungi. Rasa-rasanya Mika ingin pergi meninggalkan rumah dan menyusul Daffa, sebab jika terjadi sesuatu hal Mika dapat membantunya.
"Mika? Belum tidur?"
Mika terkesiap saat mendengar seseorang menyerukan namanya, tidak lantas menyahut, gadis yang mengenakan piyama berwarna merah muda tersebut sejenak terdiam guna mencerna keadaan. "Mas Daffa udah pulang? Kayaknya aku ketiduran di sini. Mas ke mana aja? Tau nggak kalau aku udah nelepon Mas beberapa kali? Nggak suka, deh!"
Daffa terlihat merasa bersalah. Meletakkan tas dan jas yang sempat dikenakan ke atas kursi, pria itu mengusap puncak kepala Mika dan mengecupnya lama. Meminta maaf atas apa yang telah terjadi. "Mas minta maaf, Mika. Hape Mas kehabisan baterai, nggak bisa kabarin kamu kalau ada rapat mendadak yang harus Mas hadiri."
"Beneran ada rapat?" Mika bertanya.
"Iya, Sayang. Gini aja, kalau kamu nggak percaya, kamu bisa telepon Pak Suhardi, tadi Mas rapat bareng sama dia."
Gadis itu terlihat berpikir. Namun, kendati demikian Mika masih saja memasang wajah cemberut. Masih berada dalam posisi semula, duduk di dekat meja makan. Di sana sudah tersaji beberapa hidangan yang biasa Mika hidangkan ketika Daffa pulang dari kantor. "Um, oke. Mas mau makan dulu, apa mau mandi dulu? Kalau mau mandi dulu, aku siapkan dulu air hangatnya."
Daffa terlihat berlutut di sana, mensejajarkan diri dengan Mika yang saat ini tengah menundukkan kepalanya. "Hei, kenapa cemberut?" Ia bertanya seraya menyentuh sisi wajah Mika, meminta atensi darinya yang saat ini sedang murung. "Mika?"
Mika mengangkat wajahnya. "Kenapa, Mas?"
"Mas lagi ajak ngobrol Mika, lho. Kenapa diam aja?"
"Maaf, Mas. Mungkin aku agak kecapean."
"Mika...,"
Gadis itu terdiam seketika. Membisu seribu bahasa, sementara Daffa masih berada dalam posisi yang sama. Ia terlihat begitu mencemaskan keadaan Mika yang terkesan begitu dingin, seakan menyembunyikan sesuatu. "Um, aku kira Mas macam-macam waktu di luar."
Daffa menggulum senyuman manis. Merasa ada sinyal cemburu pada diri Mika. Entah mengapa hal semacam ini begitu menggemaskan dan membuat sisa harinya begitu berwarna. "Mas bukan orang yang pantas untuk menduakan kasih sayang dari kamu, Mika. Jangan memusingkan hal yang nggak sepatutnya kamu pikirkan. Sekarang temani Mas, 'ya? Mas mau makan masakan enak kamu."
"Iya, Mas."
Daffa menarik kursi dan duduk di sebelah Mika. Meraih piring dan tak sungkan untuk mengambil makanan yang tersaji di sana, tidak ingin membuat Mika merasa kecewa. "Masakannya kelihatan enak, sampai-sampai Mas bingung mau makan yang mana."
Asin, merupakan sensasi yang pertama kali dirasakan oleh Daffa saat menyuap makanan pedas tersebut. Namun, Daffa sama sekali tidak memprotes dan justru kembali menyantapnya dengan lahap. Sesekali melontarkan pujian soal masakan Mika, hingga kegiatan makan disudahi. Setelah membantu Mika mencuci piring dan mangkuk yang ada, kini Daffa telah selesai membersihkan diri. Sudah harum, dan siap untuk tidur.
Tapi, baru saja mematikan lampu pada nakas dan membenarkan posisi tidur berharganya, tiba-tiba saja Mika melingkarkan tangannya pada pinggang Daffa. Meletakkan kepalanya di atas dada sang suami, Daffa tidak tahan lagi untuk melepas senyuman. Serius, Mika itu memiliki jiwa seorang anak tujuh tahun di dalam dirinya, hal yang membuatnya dapat bersikap begitu menggemaskan. Namun, senyumannya seketika saja luntur saat Mika mengatakan,
"Kayaknya besok kamu harus ke dokter deh, Mas."
"Kenapa, Sayang?"
"Aku khawatir sama lidah Mas. Kenapa Mas bilang masakan aku enak, padahal aku nggak sengaja menumpahkan setengah bungkus garam ke dalam masakan itu. Mas gapapa, 'kan?" []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...