06; Anti Peluru

44 4 0
                                    

"Mas gapapa?"

"Mas nggak jatuh, nggak terluka juga, jadi gapapa, dengan catatan selama berada di dekat kamu. Mas nggak membutuhkan apa pun."

"Serius, Mas."

"Apa muka Mas terlihat sedang berbohong?"

"Masalahnya muka Mas meragukan, aku bingung...," sahut Mika ketika berada dalam perjalanan pulang. Hari sudah malam, seharusnya tidak memaksakan diri untuk berkendara. Tetapi Daffa bersikeras ingin pergi di malam itu juga, akan beristirahat sejenak apabila merasa lelah. "Aku nggak mau pikiran Mas terbebani."

"Mas baik-baik aja. Karena kamu merupakan bullet proof bagi Mas, di mana ada masalah yang menghujam kamu selalu ada untuk melindungi. Jadi Mas baik-baik aja," Daffa meraih dan mengecup punggung lengan Mika, sementara pandangannya lurus ke depan guna memerhatikan jalanan lembab di malam hari. "Jangan menatap Mas seperti itu, seakan ini bukan masalah pertama yang kita hadapi. Terlepas dari masalah kredit panci merah muda kamu itu, masalah ini nggak ada apa-apanya."

"Kenapa harus bawa-bawa masalah panci, Mas?"

"Abis Mas nggak tau mau ngomong apa lagi."

Mika terlihat bungkam. Wajahnya menyiratkan kekesalan terpendam, sensitif terhadap kisah silam yang diungkit kembali. Sementara Daffa berusaha menahan tawa.

"Jangan salahkan aku kalau di mana tergoda sama demo masak sewaktu di arisan, Mas. Aku yakin Mas juga akan melakukan hal yang sama kalau serial anime kesukaan Mas mengeluarkan action figure terbaru."

"Mas nggak akan melakukan hal yang sama."

"Kenapa?"

"Karena koleksi action figure Mas udah lengkap, dan Mas tau kalau mereka nggak akan memproduksi produk baru. Kalaupun ada, Mas nggak akan kredit barang itu."

"Mas Daffa!" Mika merasa geram. Wajahnya memerah, begitu lucu, Daffa bahkan hampir tidak dapat menahan diri untuk mencubit pipi Mika yang dapat mengembang dua kali lipat apabila sedang cemberut.

"Bercanda, Sayang. Jangan marah-marah ya, nanti urusannya tambah ribet. Takutnya Mas nggak bisa nahan diri untuk menggigit pipi kamu karena gemas."

"Bercandanya jelek. Nggak suka!"

"Jangan liat ke arah Mas! Mas nggak kuat!"

"Nyebelin!"

Daffa tertawa puas. Mengusap puncak kepala Mika yang terlihat melipat kedua tangannya di depan dada, kali ini Daffa tidak berulah.

"Kalau kayak gini, jadi ingat waktu sekolah dulu," kata Daffa, kali ini ia kembali menautkan jemarinya dengan Mika. Tanda bahwa mereka telah kembali berdamai. "Tau nggak?"

Mika menjawab ogah-ogahan, "Apa?"

"Mas ganteng."

"Minggir! Aku mau pindah ke belakang!"

"Duh, jangan, dong. Iya, Mas nggak bercanda lagi," Daffa mencegah Mika untuk pergi. "Kali ini serius, masih mau dengerin nggak?"

"Apa? Cepat!"

"Sabar, dong," Daffa terkekeh-kekeh. Sempat memutar kemudi pada sebuah persimpangan, menghindari beberapa kendaraan yang sedikit mengganggu rute. "Waktu Mas masih kuliah, saat itu Mas iseng lewat depan sekolah kamu. Karena katanya di sana banyak cewek cantik, di sana banyak teman-teman Mas yang dapat pacar."

Mika mendengarkan. "Terus?"

"Mas diam-diam pergi ke sana. Tanpa sepengetahuan teman-teman karena takut dikatain gengsi, karena saat itu Mas orangnya nggak peduli sama yang namanya pacaran apalagi cinta-cintaan. Terus Mas liat kamu, siswi tercantik yang pernah Mas liat. Tapi saat itu Mas nggak punya keberanian untuk mendekati kamu, akhirnya Mas berusaha untuk melupakan kamu," Daffa menjelaskan. "Bertahun-tahun setelah selesai kuliah, Mas fokus kerja. Merintis karir, karena salah satu goals dalam kehidupan Mas adalah hidup mandiri. Sehingga Mas bertemu dengan kamu, owner dari online shop yang Mas beri keluhan karena barangnya rusak di jalan."

"Di pemesanan kedua Mas kembali memberikan keluhan. Padahal sama sekali nggak ada kerusakan."

"Itu karena Mas ingin berhubungan dengan kamu, lebih lanjut. Lebih dari sekadar owner dan klien. Selebihnya kamu tahu sendiri, akhirnya kita pacaran. Sebulan kemudian Mas lamar kamu, dan Mas sadar kalau kita masih membutuhkan waktu untuk berduaan."

"Mas...,"

"Jadi jangan terlalu memikirkan masalah punya momongan ini, oke? Karena Mas masih ingin menjadi prioritas nomor bagi untuk kamu." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang