33; Aku Cemburu, Aku Marah!

16 2 0
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja. Kini perut Mika terlihat lebih berisi, tidak dapat menyembunyikan fakta yang ada terlampau lama. Pada akhirnya mereka harus memberitahu orang tua dari pihak pria soal kehamilan ini sebab tidak dapat ditutupi lagi. Apa pun risikonya, bagaimanapun juga Daffa harus memberitahu ibunya soal ini.

"Mas belum siap."

Mika menghela napas karenanya.

"Terus mau sampai kapan disembunyikan? Seakan kita bukan suami istri, kamu niat jadi ayah nggak, sih?"

Daffa terkejut bukan main atas jawaban yang dilontarkan oleh Mika, ia bahkan tidak sempat berpikir langkah selanjutnya yang akan diambil sehingga memilih opsi memeluk Mika di sana. Tidak peduli meski gadis itu membelakangi dirinya sekalipun. Daffa tidak peduli.

"Uh, bukan maksud Mas seperti itu. Kamu tau sendiri kalau menjadi ayah merupakan cita-cita terpendam aku."

Mika tidak terenyuh, sama sekali tidak tergugah untuk sekadar angkat bicara guna menanggapi hal tersebut.

"Marah sama Mas, hm?"

"Pikir aja sendiri."

"Oke, udah pasti kamu marah sama Mas."

Mika tidak menggubris. Masih dalam posisi serupa, tidak pergi ke mana pun saat lengan pria tersebut melingkar manis pada bagian perut. Tidak bergerak, menatap ke luar jendela. Di sana terlihat sedikit gelap, hujan pasti akan segera turun.

"Seperti apa yang kamu katakan, ini merupakan awal yang baru bagi kita berdua. Melupakan ucapan sendiri, hm?"

Gadis tersebut sedikit menghindar ketika Daffa berupaya untuk sekadar mencium lehernya, memberikan batasan pada pria itu.

"Berikan Mas kesempatan untuk mengetahui kesalahan Mas, Mika. Di sini kita hanya berdua, saling memiliki satu sama lain. Jangan ada hal yang ditutupi di antara kita."

Daffa berusaha untuk membujuknya. Kendati tidak mendapatkan satu tanggapan apa pun. Pria itu lantas mengambil keputusan untuk menyelesaikan semua ini secara baik-baik.

"Ikut, Mas."

"Ke mana?"

Ia tersenyum dan meraih pergelangan tangan Mika, mengajak gadis itu untuk pergi ke garasi tempat di mana mobil mereka terparkir. Pada satu sisi Daffa memiliki keinginan besar untuk melalui badai ini, sementara Mika masih tidak tahu ke arah mana semua ini akan tertuju.

Keduanya memiliki jalan pikirannya sendiri. Tidak saling berbalas suara atau membuka obrolan, Daffa telah berkendara tak tentu arah selama satu jam lamanya. Melesat ke pesisir kota dan menjauh dari keramaian. Tanpa persiapan apa pun, tanpa adanya rencana yang telah dipikirkan matang-matang.

Semua berlalu begitu saja. Sehingga Daffa menghentikan mobilnya di sebuah jalanan besar yang begitu sepi, sejauh mata memandang hanya ada Indraloka yang Tuhan turunkan sebab merasa kasihan terhadap penduduk dunia fana. Hijau, sejauh mata memandang hanya ada pohon dan semak belukar yang terdapat di tepian jalan.

"Kita ngapain ke sini, sih?" Mika bertanya. Vokalnya terdengar tak suka atas apa yang pria tersebut lakukan. "Udah sore, mana sepi lagi."

Daffa yang berpegang teguh pada pendirian pun tak lantas menyerah, ia justru membantu Mika untuk turun dari unit mobil Toyota Camry yang telah membawa mereka sampai sejauh ini. Sama sekali tidak merasa tersinggung atas Mika yang menatapnya tidak habis pikir, jelas memandang rendah.

"Ayo, pegang tangan Mas."

Daffa membawa Mika masuk ke area semak belukar, menyusuri jalan setapak yang samar terlihat sebab ditutupi oleh rimbunnya dedaunan gugur. Sesekali memastikan keadaan istrinya, hingga sampai pada titik terang di balik semua ini.

Sebuah pantai.

"Sewaktu masih kuliah, Mas sama teman-teman suka ke sini. Terutama sama Romi, dia suka ajak Mas ke sini kalau lagi ada masalah. Mau teriak sekeras apa pun, nggak akan ada yang tau kalau kita ada di sini," Daffa menjelaskan. Melepas alas kaki dan melangkah menyusuri pasir putih yang merangsek masuk ke sela-sela jari, Daffa kembali tersenyum malu ketika mengimbuhkan, "Dan mungkin kamu juga membutuhkan hal ini. Mas nggak tau kamu kenapa, Mika. Tapi mau bagaimanapun juga Mas akan memakluminya, karena kamu sedang mengandung. Adapun pemikiran Mas yang berpikir, kalau kamu butuh tempat untuk sekadar meluapkan emosi. Hal yang nggak bisa dilakukan di rumah."

Mika terdiam. Daffa mulai menjauh seraya menenteng alas kakinya, tak ingin memperkeruh keadaan dengan bersikeras untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku cemburu."

Daffa tertegun.

"Aku cemburu!"

Daffa membalikkan tubuhnya dan menangkap kedua mata Mika telah berkaca-kaca. Ledakan emosi pun terjadi setelahnya, gadis itu berlari ke arah Daffa dan mendekapnya erat. Sementara itu Daffa tidak melakukan apa pun, membiarkan Mika melepas keluh kesahnya di sana. []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang