Mika terbangun di pagi harinya dengan kondisi yang kurang baik. Tak memiliki siapa pun yang dapat disapanya, Mika melangkah menuju halaman belakang dan memberi pakan pada peliharaan barunya. Meski tidak terlalu menyukainya, Mika tidak tega apabila harus membuangnya begitu saja.
"Udah laper, 'ya?" Mika bertanya seraya membuka pintu kandang yang dimilikinya, mengingat beberapa waktu yang lalu Mika pernah menyelamatkan seekor burung, gadis itu menemukan burung tersebut sudah tergeletak di depan rumah. Memutuskan untuk merawat burung kenari itu sampai pulih, Mika membeli beberapa perlengkapan untuk merawat hewan peliharaan.
Melangkahkan kaki mungilnya ke luar dari kandang, anak bebek itu terlihat riang sambil menghampiri kaki Mika yang hendak memberi makan.
Menaburkan pakan di sana, Mika terlihat bertopang dagu.
"Mau dibersihkan dengan apa pun juga warna catnya nggak mau hilang dari bulu kamu. Bingung juga. Titik bagusnya di mana coba? Yang ada kamu merasa nggak nyaman, 'kan?"
Jemari mungil gadis itu menyentuh bulu dari si anak bebek. Diam-diam mengasihaninya. Entah apa yang terbersit di dalam benak si penjual sehingga mengubah kodrat dari dagangannya sendiri, adapun hal yang membuat Mika tidak habis pikir adalah; kenapa Daffa membelinya?
"Kamu makan yang banyak, 'ya? Jangan buat keributan."
Mika melangkah masuk ke dalam rumah. Meninggalkan halaman yang memiliki luas tidak seberapa tersebut, menyambangi dapur untuk memenuhi asupan mineral selepas bangun tidur. Namun, perhatiannya sontak saja tertuju pada sepiring omelette di atas meja, lengkap dengan sebuah kartu ucapan yang berisi; jangan lupa makan aku.
Tidak akan munafik bahwa Mika hampir tertawa melihatnya, duduk di sana dan menikmati hidangan tersebut. Mika tidak ingin menyia-nyiakan apa yang telah Daffa buat untuknya. Kendati sikap Mika yang terkesan begitu kekanakan, pria itu bersikap dewasa dengan tidak membiarkan masalah berlarut-larut.
Sepiring omelette perdamaian, pikir Mika.
"Permisi?"
Mika menoleh ke arah pintu utama ketika mendengar suara seseorang dari luar sana. Bergegas pergi untuk membukakan pintu, seketika saja Mika menyesali perbuatannya itu.
"Kamu ngapain di sini?" Mika tidak bosan-bosannya menanyakan hal demikian. Merasa bahwa tidak ada kepentingan dari tamu tak diundang tersebut. Katakan saja bahwa Mika memiliki sepak terjang yang buruk dengan sosoknya di masa lampau.
Jaka tidak terkejut ketika Mika menanyakan hal semacam itu. "Aku tau kalau pertemuan kita tempo hari itu sangat buruk. Momentumnya nggak tepat, tapi katakan aja kalau kedatangan aku kemari ialah untuk menyampaikan undangan."
Mika mengernyit. "Undangan?"
"Iya, undangan pernikahan aku. Ingat soal aku yang mau suami kamu turut serta dalam hal membuat perencanaan dan desain bangunan? Ya, itu untuk rumah yang nantinya akan ditempati kami berdua. Tapi, aku akui sarannya agar aku menghubungi Pak Suhardi itu tepat adanya, dan aku ingin berterima kasih karena hal itu."
Mika hanya diam. Menyimak dengan tatapan kurang nyaman sebab kejadian yang di mana hal itu membuat hubungannya dengan Daffa sempat memburuk, Mika tidak ingin terjadi hal serupa di masa yang akan mendatang.
"Ini undangannya."
"Oh, oke."
"Aku nggak bisa lama-lama, Mik. Tapi, kalau kamu mau mengobrol dan mengenang masa lalu, silakan hubungi aku. Ini kartu namaku." Ia menyerahkan sebuah kartu sesaat setelah menyerahkan undangan yang dimaksud. Mika seakan tidak memiliki pilihan selain menerimanya dan bersikap bahwa semuanya baik-baik saja.
"B-baiklah."
"Dan, Mika?" Jaka mencegah gadis itu untuk pergi. Membuat Mika tidak habis pikir saat pria itu mengatakan, "Jangan sungkan untuk menghubungi aku, oke? Kamu tau kalau aku bukan orang asing, 'kan?" []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...