45; Meneror Mika

18 2 0
                                    

Terhitung dua hari sudah Daffa tidak pergi ke kantor. Mika tidak akan munafik bahwa merasa khawatir, tak dapat meninggalkan pria itu walau untuk beberapa saat saja. Mengingat kondisi Daffa yang tidak dapat ditebak; pria itu tak jarang merengek meminta Mika agar tidak pergi, menemaninya ke kamar mandi, dan tidur bersama di setiap saat.

Daffa terlihat begitu tertekan. Ketakutan.

Mika masih tidak mengerti soal keadaannya itu, tidak heran apabila saat ini Mika tidak dapat melakukan upaya berarti selain menenangkannya. Setidaknya hingga bel pintu berbunyi. Mika harus meninggalkan Daffa sejenak.

"Mau ke mana, Mika?"

"Ke depan, Mas. Ada tamu."

"Jangan lama-lama."

"Iya, Sayang."

Mika mengusap poin wajah Daffa yang memerah, ia masih menderita demam. Melangkah menuju pintu, tanpa adanya suatu rasa curiga apa pun Mika membukakan pintu. Langsung dihadapkan dengan sesosok kurir yang membawa sebuah buket bunga di dalam dekapan.

"Dengan Bu Mika?"

"Iya, saya sendiri."

"Ini ada titipan, mohon diterima."

"Dari siapa, 'ya?"

"Beliau tidak ingin disebutkan namanya, kalau begitu saya pamit undur diri."

"Oh, oke. Terima kasih."

Mika membawa buket berukuran besar itu masuk ke dalam rumah. Menutup pintu menggunakan punggung sementara kedua tangannya kerepotan membawanya, tidak ada nama pengirim terkecuali sebuah note kecil di sana.

'Dear, Mika. The most beautiful woman I have ever met in this world.'

Mika tertegun. Tidak ada nama pengirim di sana, ini benar-benar aneh. Terkesan seperti teror?

"Siapa, Mika?"

Mika terkejut, membuang buket itu ke luar jendela. Tidak ingin membuat Daffa salah tanggap ketika melihat benda itu ada di dalam genggamannya. Mika tahu bahwa Daffa tidak akan melakukan hal semacam itu; memberikan buket bunga tanpa sepengetahuan dirinya. Mustahil.

"Bukan siapa-siapa, Mas. Cuma salah alamat."

Daffa menganggukkan kepalanya. Mendekat ke arah Mika seperti seorang anak tujuh tahun yang sedang menderita demam, butuh perhatian lebih. "Kirain ada siapa. Syukurlah, nggak ada yang ganggu kita sewaktu Mas lagi cuti karena sakit."

Mika terkekeh pelan. Melangkah ke arah dapur, tidak mengindahkan Daffa yang masih mendekapnya dari depan. Kini mereka melakukan formasi melangkah seperti seekor pinguin.

"Kamu kenapa, Mas? Flu?"

"Hm, nggak tau. Tiba-tiba aja nggak enak badan."

"Duduk dulu, coba. Biar aku cek suhunya, sebelum makan obat kamu harus makan dulu. Jangan coba-coba membantah, atau aku hukum!"

"Iya, Sayang. Serem, ih."

Daffa mengusak hidungnya. Membiarkan Mika pergi ke arah kotak perlengkapan kesehatan, menyisipkan termometer pada mulut Daffa. Membiarkan alat itu bekerja sementara Mika kembali melanjutkan kegiatan mengaduk di dalam panci, menyiapkan semangkuk sup ayam.

"Suhunya lumayan tinggi, Mas. Ayo makan dulu supnya, baru makan obat, terus istirahat."

"Iya, Bu. Siap."

Daffa sama sekali tidak membantah ucapan Mika, tak dapat melakukan apapun selain menikmati sup yang dibuat oleh istrinya itu kendati terasa hambar sekali pun. Mungkin karena demam, indera perasanya turut menjadi korban.

Menarik selimut dan menatap istrinya sekali lagi, kali ini Daffa benar-benar diperlakukan seperti seorang anak kecil. Mengingat Mika begitu telaten dan cukup berhati-hati ketika membantu Daffa dalam hal meminum obat.

"Kayaknya kali ini bukan demam, deh," Daffa berujar. Menarik atensi Mika yang duduk di tepi ranjang. "Ini kayaknya alergi Mas kambuh, tapi kok bisa ya?"

Mika tersenyum. "Tapi di rumah nggak ada bunga, Mas. Aneh juga, 'ya?"

"Hm, Mas mau tidur dulu."

"Iya, selamat tidur."

Mika mematikan lampu, melangkah ke luar kamar dan merapikan dapur. Namun, bel pintu kembali berbunyi. Menyita atensinya.

Kurir lagi?

Mika tidak ambil pusing. Membukakan pintu untuk siapa pun itu. Namun, sontak dibuat tercekat ketika melihat buket yang dibuangnya kini berada di dalam genggaman seseorang.

"Kamu...,"

"Kenapa dibuang? Nggak suka sama buketnya, hm? Katakan aja kalau ini merupakan suvenir pernikahan saya, karena waktu itu kamu nggak datang." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang