38; Permainan Kasar

27 2 0
                                    

Daffa pernah merasakan kehilangan sebelumnya, adapun rasa trauma tersendiri ketika mengingat kejadian dari puing memori lama tersebut. Ketika baik fisik maupun mentalnya masih terlampau lemah dan begitu rentan, Daffa dihadapkan dengan kejadian abnormal. Saat di mana sang ayah memukul ibunya beberapa kali, Daffa tidak dapat melakukan apa pun selain menyaksikan hal tersebut sementara sang kakak berupaya untuk melerai.

Saat itu Daffa masih kecil. Tidak tahu harus melakukan apa ketika akal sehatnya tahu bahwa hal demikian tidak seharusnya dilakukan.

"Mami nggak apa-apa, cuma lagi main sama Papi."

Daffa tidak percaya. Bagaimana bisa bermain dapat melukai seseorang hingga separah itu.

Ini gila.

Siapapun yang berbuat salah harus meminta maaf atas apa yang telah diperbuat. Maka keesokan harinya, saat tahu bahwa hal semacam ini tidak dapat dibiarkan secara berlarut-larut, Daffa mencari ayahnya. Keberadaan pria itu tidak terpantau di dalam radar, pun tidak ada seseorang di luar sana yang mengetahui keberadaannya.

Bingung.

Daffa tahu bahwa ada satu pemecahan masalah dari setiap poin di dunia ini, yaitu; menghadapinya. Tapi, apa yang Daffa pelajari dari ayahnya, ada saat di mana kita harus melarikan diri dari masalah yang ada. Tak pasti sampai kapan, setidaknya itu membuatmu dapat terbebas meski sejenak.

Tidak rasional.

Menyelipkan anakan rambut Mika ke belakang daun telinga, Daffa memperhatikannya sejenak. Gadis itu sedang terlelap di sana, tepat pada lengan kanannya yang sengaja diletakkan di sana.

Daffa mulai berpikir, semisal apa yang dilakukan oleh ayahnya terjadi pada Mika. Sebab belakangan emosi Daffa cenderung tidak terkontrol, entah apa penyebabnya. Tetapi satu-satunya hal yang pasti pria itu merasa takut di setiap detiknya, takut apabila tangannya ini sampai melukai Mika untuk yang kesekian kalinya.

"Udah bangun, Mas?"

Daffa terhenyak. Menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Mika sudah terbangun di sana.

"Eh, iya. Kamu mau langsung sarapan atau gimana?"

Mika membenarkan posisi tidurnya, mendekatkan diri pada dada suaminya itu. Sejenak menenggelamkan wajahnya di sana. "Terserah kamu, aku ikut aja."

"Kalau Mas masih mau di sini," Daffa melempar pandangan pada kaca berukuran besar di sana, menghadap tepat ke arah panorama pantai yang menyejukkan. "Toh, belum terlalu lapar juga. Tapi kamu harus makan, jangan egois karena merasa mual. Di dalam perut kamu ada penerus ketampanan Mas kamu ini."

Mika terkekeh, menepuk dada bidang Daffa. "Kalau anaknya perempuan gimana?"

"Kalau anaknya perempuan ya mirip sama kamu."

"Hm, terserah. Tapi aku tetap nggak mau makan, kamu tau sendiri semalaman aku muntah terus."

"Harus dipaksa, Mika. Jangan egois."

"Mau disuapin kamu."

"Nggak bisa."

Mika merengut. "Kenapa?"

"Mas takut ditangkap polisi karena kasih suap kamu."

Mika merasa tidak habis pikir. "Kasih suap makan, Mas. Bukan suap yang—ah. Tau, ah! Gelap!"

"Bercanda, Sayang. Mas ambilkan makanannya, 'ya?"

"Nggak usah."

"Lho, kenapa?"

"Udah kenyang makan omong kosong Mas." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang