05; Melawan Arus

56 4 0
                                    

"Jangan khawatir, Sayang," Daffa berujar. Membuat pandangan Mika teralih padanya. "Kalau Mami sampai gigit kamu, bilang ke Mas. Biar Mas gigit balik."

Mika tertawa. "Apaan sih? Jangan ada-ada, deh."

Daffa mendengkus geli dan mengeluarkan barang bawaan dari dalam bagasi. Tidak banyak hal yang dibawanya, mengingat mereka tidak akan bermalam di sini. Melihat kesibukan Daffa di kantor, dan online shop yang Mika kelola harus tetap berjalan, mereka sepakat untuk tidak menetap cukup lama pada kunjungan kali ini.

Melangkah ke arah rumah, Daffa pun menekan bel pada pintu. Harap-harap sang pemilik rumah dapat mendengarnya dan membukakan pintu. Pada kesempatan kali ini Daffa menggenggam erat jemari Mika, harap-harap dapat memberikan sedikit kekuatan.

"Iya, sebentar!"

Pintu pun terbuka, menampakkan impresi seorang wanita paruh baya yang memiliki kehidupan mewah dengan perhiasan, dan juga pakaian glamor seperti itu. Tampak antusias saat menyambut keduanya, hampir menumpahkan air mata karena merasa terharu.

"Daffa, Mika, kalian sehat, Nak?"

Daffa terlihat mencium punggung lengan sang ibu. Begitu sopan dan santun, diikuti oleh Mika yang melakukan hal serupa sebelum mulai berbincang.

"Keadaan Daffa sama Mika baik, Mami. Mami sendiri gimana? Baik?" Daffa berujar. Membawa barang bawaannya untuk masuk ke dalam rumah berukuran besar itu, sementara Mika membawa sisanya untuk membantu Daffa.

Yulia terlihat antuasias menyambut anaknya itu. Membalas beberapa pertanyaan yang Daffa lontarkan, berikut soal berita terkini dari kondisi kesehatannya yang sempat drop—karena sesuatu hal yang tidak diketahui—Daffa terlihat sempat khawatir akan keadaan ibunya tersebut. Sempat memberikan rekomendasi soal metode pengobatan dari penyakit yang dideritanya, Yulia menyimaknya dengan seksama.

Tahu bahwa Mika tidak terlalu pandai bicara ketika dihadapkan dengan ibunya, Daffa ambil bagian besar dalam hal memulai percakapan, sebisa mungkin menghindari topik pembicaraan sensitif.

"Mami harus menjaga kesehatan. Apa perlu Daffa mendatangkan suster dari rumah sakit untuk merawat Mami di sini?"

"Nggak usah, Sayang. Mami masih bisa menjaga diri, kok."

"Tapi tetap aja, Mami nggak boleh absen untuk minum obat. Biar Daffa kasih tau perawat di sini untuk merawat Mami dengan baik dan benar."

"Nggak usah. Mereka udah menjalankan tugasnya dengan baik untuk sekadar merawat orang tua, mereka juga cekatan dalam hal merawat bayi, lho."

Daffa mulai tegang. Salah satu tangannya mulai menggenggam jemari Mika yang duduk tepat di sampingnya. Oh, ini tidak akan bagus. Tidak, Daffa merasa bahwa ibunya telah terkonfirmasi akan membahas hal sensitif yang dimaksud.

"Oh, ini Daffa bawa oleh-oleh buat Mami. Rasanya enak banget...,"

"Jadi kapan kalian punya momongan?"

Mampus!

Daffa memejamkan matanya sejenak. Merasakan bahwa genggaman tangan Mika melemah seiring dengan berjalannya waktu.

"Sedang direncanakan, Mami," Daffa menukas. Tidak ingin topik ini terus berlanjut dan menimbulkan persepsi dari kedua belah pihak, di sana sepertinya Daffa sudah gelisah. Melihat ekspresi Mika yang tidak terbaca. "Masih banyak hal yang harus kita pertimbangkan terlebih dulu. Jadi nggak bisa buru-buru."

"Apa yang kamu cemaskan, Daffa? Uang? Mami punya banyak uang, bahkan sampai Mami bingung mau diapakan uang itu. Disimpan di bawah tempat tidur juga uang itu nggak akan membawa apa pun bagi Mami."

"Bukan masalah uang. Tapi ini masalah persiapan mental," kata Daffa, sekali lagi menggenggam tangan Mika. Namun, kali ini Daffa terlihat tidak sungkan untuk memamerkannya saat mengatakan, "Daffa masih membutuhkan waktu, waktu yang berharga untuk pacaran sama Mika terlebih dulu." []

TBC
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang