"Mas, kamu ada nyium sesuatu, nggak?"
"Nggak, satu-satunya yang Mas cium selama delapan bulan terakhir hanya kamu, terus kamu, kamu lagi, terus seperti itu."
"Bukan cium yang itu, kamu mencium bau sesuatu nggak?"
Daffa mengernyitkan keningnya. "Nggak, tuh. Kenapa?"
Mika menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Seketika saja merasa bahwa sensasi abnormal terjadi pada tubuhnya. "Hm, bau banget, Mas."
Pria itu kian dibuat kebingungan. Mencari sumber aroma yang istrinya maksud, namun ia tidak menemukan apa pun terkecuali aroma pengharum ruangan. Merasa sedikit ragu dan menaiki kursi, Daffa pun meraih pengharum ruangan tersebut guna memastikan bahwa benda itulah yang mengganggunya.
"Ini maksud kamu?" Daffa bertanya.
"Ih! Buang, Mas! Bau banget!"
"Oke, oke. Mas akan menjauhkan benda ini dari kamu." Daffa berujar seraya melangkah menjauh dari Mika. Alih-alih membuangnya, Daffa justru menyimpan alat pengharum itu ke ruang penyimpanan. Bukan apa-apa, mengingat sejak awal Mika sendirilah yang menginginkan hal semacam itu ada di rumah. Namun, entah mengapa seleranya tiba-tiba saja berbanding terbalik dengan apa yang Daffa ingat.
"Udah dibuang, Mas?"
Daffa mengangguk. "Udah. Kamu gapapa?"
Mika tersenyum. "Gapapa, Mas. Maaf merepotkan kamu."
Daffa mengembuskan napas lega. Menarik Mika ke dalam dekapannya dan mencium puncak kepalanya, merasa bahwa pada kemungkinan terburuk semua tidak akan berakhir secepat ini. "Udah beberapa hari ini kamu sensitif sama aroma apa pun itu, nafsu makan kamu juga lumayan menurun, daripada memikirkan kondisi kamu, kamu justru meminta Mas untuk memberi makan anak bebek yang kamu simpan di halaman belakang. Jujur, Mas agak khawatir,"
Mika hanya diam mendengarkan.
"Dan yang lebih parahnya lagi, kamu melarang Mas untuk masuk kerja. Orang kantor sampai panik, dikira Mas keracunan atau nggak tau arah jalan pulang sampai nggak ada kabar yang terdengar."
"Mas...,"
Daffa menatap kedua obsidian Mika, menyelaminya sejenak. Membuat gadis itu terpana karenanya.
"Udah lebih dari dua minggu, lho. Kamu nggak mau periksa?"
Mika menggelengkan kepalanya dan kembali mendekap tubuh proporsional milik suaminya itu.
"Mas akan menerima hasilnya, kok. Apa pun itu," Daffa berujar. Meyakinkan Mika bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Setidaknya dengan begitu Mas nggak akan dibuat terlalu khawatir, karena kesehatan kamu merupakan prioritas nomor satu."
"Mas boleh pergi ke kantor, kok."
"Nggak gitu, Mika."
"Serius, Mas. Aku gapapa."
"Tapi Mas mengkhawatirkan kamu."
Mika mengangkat wajahnya, masih bersikeras untuk mendekap tubuh pria itu. Merasakan perut kerasnya menekan dada Mika dengan sedemikian rupa. "Sepulang dari kantor, kita ke rumah sakit. Aku nggak mau pekerjaan kamu terganggu hanya karena masalah ini. Seenggaknya buat orang kantor percaya kalau Mas dalam keadaan baik-baik saja dan masih hidup."
"Apa Mas udah mengatakan kalau Mas sayang sama kamu?"
"Seingat aku udah, sering malah."
Daffa mencium bibir Mika, mencuri start di pagi hari yang cerah kali ini. Mika pun terlihat terkejut, hampir terhuyung ke belakang. Sebab tidak siap menerima serangan. "Mas nakal!"
"Diam, kamu suka."
"Katanya mau pergi ke kantor."
"Iya, ini mau siap-siap."
"Terus kenapa masih liatin aku?"
Daffa tersenyum salah tingkah, merengkuh pinggangnya mesra. Tidak ingin melewatkan satu momen pun. "Kenapa? Nggak boleh?"
Mika merotasikan bola matanya jengah. "Kalau gitu terus kapan kerjanya?"
"Oke, kalau begitu Mas siap-siap dulu. Siap-siap jangan?"
"Iya, Mas. Iya."
"Mas sayang sama kamu."
Mika mendengkus geli dan mendorong dada bidangnya, meminta pria itu untuk segera bergegas pergi ke kantor seperti apa yang telah direncanakan. []
/TBC/
Tuberculosis
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Melankolis✓
RomanceDi hubungan yang telah berjalan satu bulan lamanya, Daffa dan Mika memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, seperti bahtera rumah tangga pada umumnya, ada saja hal yang membuat hubungan mereka dirasa begitu sulit dan hampir ti...