25; Penyelesaian Masalah

28 2 0
                                    

Akhir pekan. Mika dan Daffa memutuskan untuk tidak pergi ke mana pun, sepakat untuk membersihkan rumah terutama gudang penyimpanan, pada akhirnya Daffa mengambil bagian terbesar dalam semua ini. Meliputi; membersihkan debu, menyortir barang yang masih dibutuhkan dan tidak, menata ulang ruangan, dan memberikan sentuhan pada dinding kusam agar terlihat menyegarkan mata siapa pun yang mengunjungi tempat tersebut.

Mika tidak melakukan apa pun selain duduk dan memerhatikan, selain tidak ada hal yang harus dikerjakan, Daffa memintanya untuk tidak melakukan banyak hal terlepas dari menikmati ketampanan mutlak yang dimiliki oleh sang suami.

"Gimana?"

Mika mengernyit. "Apanya?"

"Ketampanan Mas."

"Mulai, deh."

Daffa terkekeh dan menghapus sisa peluh pada pelipis. "Warna cat baru ini, bagus nggak?"

"Bagus. Estetik, suka."

"Mas juga suka sama kamu."

Mika menghela napas hiperbola, menanggapi apa yang dikatakan oleh suaminya itu sebagai makanan sehari-hari. Sudah terbiasa.

"Kalau udah selesai, mandi, terus makan. Aku udah masak, nggak mau tau pokoknya harus dimakan."

"Sekalipun kamu menaruh racun di dalam makanan itu, Mas akan tetap makan, kok."

"Jangan sampai aku benar-benar meracuni Mas."

"Kamu udah meracuni Mas sejak awal, Mas sampai kehabisan napas setiap kali liat kamu tersenyum."

Mika spontan saja tersenyum, namun senyumannya itu jelas dibuat-buat sebab terlihat begitu palsu. Daffa hanya memerhatikan istrinya tersebut, sampai Mika merasa bahwa rahangnya sudah terasa pegal, nyatanya tersenyum pun melelahkan.

"Ih, ngapain?" Daffa mengernyitkan keningnya, menatap Mika lucu.

"Membuktikan kalau apa yang Mas katakan itu benar," kata Mika, tak ragu lagi untuk sekadar mengemukakan isi kepalanya secara langsung. Membenarkan posisi duduknya, Mika pun mengimbuhkan, "Nah, lho! Buktinya Mas masih hidup. Aturan langsung jatuh karena kehabisan napas. Mas bohong, nih."

"Mas nggak akan sesak napas ketika tau kalau kamu berbohong," Daffa menyentil kening Mika, membuatnya meringis dan mengerucutkan bibirnya. Sial, Daffa merasa gemas sendiri. "Mas mau mandi dulu, kamu jangan mengintip. Nanti mimisan lagi, siapa yang nantinya panik? Duh, Mas nggak bisa bayangin kalau kejadian lagi. Jangan ngintip, 'ya? Demi perdamaian dunia."

Mika merasa tidak tahan lagi, tertawa dan mendorong suaminya itu ke luar dari ruangan yang memiliki luas lima kali enam meter tersebut, tak ingin Daffa terus bergurau dengan setiap gombalan yang dimiliki. Sebab tidak baik untuk kesehatan jantung. "Cepat mandi sana!"

"Iya, Sayang."

Daffa pergi berlalu menuju kamar mandi. Meninggalkan Mika seorang diri di sana. Gadis itu terlihat menikmati hasil kerja Daffa dalam hal menata ruangan, membuatnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Hingga pandangan Mika kembali tertuju pada bungkusan yang belakangan mengganggu pikirannya. Syal merah itu masih di sana, tetapi Daffa seakan masih enggan untuk membahasnya.

Maksudnya, pria tersebut pasti sadar bahwa Mika telah mengetahui benda itu. Namun, seakan masih mengulur waktu, Daffa memilih untuk menghindar ketimbang menghadapinya.

Genggaman Mika pada paper bag itupun sontak saja terlepas saat tahu bahwa ada hantaman tersendiri pada tubuh, semerbak aroma maskulin dan obat berkumur pun sontak memenuhi indera penciuman gadis itu, hampir membuatnya tumbang.

"Mas...,"

"Jangan bergerak," Daffa menenggelamkan wajahnya di tengkuk Mika, menahannya di sana selama mungkin. "Biarkan seperti ini. Setelah apa yang terjadi, Mas nggak akan bosan-bosannya meminta maaf sama kamu. Karena...,"

"Nggak ada yang harus dijelaskan, Mas. Biarkan apa yang ada pada diri kamu tetap terpendam di sana, jadikan hal itu sebagai apa yang sudah sepatutnya kamu simpan seorang diri," Mika memutar tubuh mungilnya dan mengangkat wajahnya, menatap rahang tegas Daffa yang terpampang nyata adanya. Hanya untuknya. "Apa pun yang terjadi, aku tetap percaya sama kamu, Mas. Mari kita mulai semuanya dari awal." []

/TBC/
Tuberculosis

Pasutri Melankolis✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang