An Offering of Stagnation [Daffa]

3 2 0
                                    

"Aku berikan penawaran ini kepadamu. Silahkan kamu pertimbangkan."

Laki-laki berjubah putih itu menatap tajam ke arah laki-laki dengan jaket hitam yang dia berikan penawaran itu. Laki-laki berjaket hitam itu membalas dengan tatapan tajam.

"Berapa kali anda memberikan penawaran itu pun, aku akan menolaknya."

"Apakah itu yang ingin kamu katakan kepada teman-temanmu yang bahagia di luar sana?"

Laki-laki berjaket hitam itu mengepalkan tangannya. Lawannya benar-benar menekan dirinya secara psikologis. Ah, bagaimana tidak, lawannya sendiri adalah seseorang yang dapat mengabulkan keinginan orang-orang disekitarnya.

"Aku tidak peduli jika mereka menentang semuanya dan tetap kembali pada mimpi ini."

Kalimat itu terdengar mantap dari laki-laki berjaket hitam itu. Tampak wajah ketidakpercayaan dari laki-laki berjubah putih. Sementara itu, seorang laki-laki yang berada di samping laki-laki berjaket hitam, dimana dia memakai pakaian kemeja berwarna hitam dengan garis orange di lengannya, tersenyum.

"Sepertinya kita tidak memiliki ruang untuk negosiasi."

Laki-laki berjaket hitam itu mengepalkan tangannya.

"Aku sudah bilang bahwasanya negosiasi sudah tidak ada gunanya, Maruki. Kita akan hentikan acara mimpi ini sekarang."

Laki-laki kemeja hitam-orange menunjuk tajam ke arah laki-laki berjaket putih yang dia sebut Maruki itu. Sorotan tajam ditukar antara mereka berdua, sebelum Maruki menghembuskan nafas berat. Dia menyadari ruang negosiasi mereka telah selesai untuk saat ini.

"Baiklah. Temui aku dalam satu minggu dari sekarang. Aku harap kalian dapat berubah pikiran setelah melihat teman-teman kalian bahagia."

Laki-laki berjubah putih itu menghilang setelah sebuah kilat cahaya yang membutakan dua laki-laki dengan pakaian hitam itu. Dengan hela nafas berat, laki-laki berkemeja hitam itu menatap ke arah rekannya.

"Apakah kamu menyesali pilihanmu?"

Lawan bicaranya tampak hening, dan hanya membalikkan arah menuju pintu keluar tempat itu.

"Sepertinya begitu ya. Baiklah."

Dan mereka pergi dari tempat itu dengan suasana hening. Lagu tenang dengan sebuah nada yang menenggak semangat mengikuti mereka sepanjang jalan keluar.

"Katakan, apakah kamu benar-benar menyesali menolak tawaran Maruki?"

"Entahlah, Affad, aku tidak bisa mengatakan tidak terhadap tawarannya. Impianku adalah untuk membantu semua orang di dunia, dan kekuatannya memberikan jalan itu."

"Sekilas itu benar. Tapi, kamu harus ingat bahwasanya ini hanyalah ilusi yang dia sematkan dalam realita kita. Pada satu titik, kita akan berada dalam kondisi stagnasi."

"Maksudmu, penderitaan itu diperlukan, begitu kah?"

"Benar. Bukankah kalian menjadi satu kumpulan yang terkenal karena kalian masing-masing punya luka sendiri. Lily, Nanda, dan Lala, misalnya."

"Kamu membicarakan tim awal yang terbentuk ya..."

"Nab, kamu harus ingat bahwasanya lukamu membawamu ke posisi lebih tinggi. Stagnasi yang dia tawarkan sama saja menghapus semua perkembangan dalam kehidupan kalian."

"Entahlah... aku harus pikirkan ini dulu."

"Aku harap kamu membuat keputusan yang benar. Kamu bisa bertemu dengan mereka. Aku akan menemui lagi pada hari yang disepakati."

"Baiklah."

Dan mereka berdua berpisah di tempat itu.

Hari pertama, Nab menemui Lily dan melihat dia bahagia.

Hari kedua, Nab menemui Lala dan melihat dia bahagia.

Hari ketiga, Nab menemui Nanda dan melihat dia bahagia.

Hari keempat dan seterusnya, dia juga menemui anggota lainnya bahagia.

Mereka semua tidak mengalami masa kesedihan yang membuat mereka meratap sebelum Nab bertemu dengan mereka semua. Mereka semua bahagia, dengan kehidupan semu yang ditawarkan oleh Maruki. Rasanya, merampas kehidupan itu dari mereka seperti sebuah dosa yang berat di dada.

Dan hari perjanjian itu tiba. Nab bertemu dengan Affad di pintu masuk menuju tempat milik Maruki. Sepanjang perjalanan mereka menuju titik pertemuan, tidak ada percakapan di antara dua sekawan yang masih bertarung saat semua teman mereka sudah lupa tentang perjuangan di tempat misterius ini.

Hanya Nab, Affad, dan Maruki yang berada di ruangan itu kala duo itu tiba. Mereka bertiga menatap dari sisi berlawanan, dengan ruangan itu menjadi pemisah mereka, membatasi dengan lantai yang terdapat simbol dua sayap.

Laki-laki berjubah putih itu tersenyum kala mereka tiba.

"Aku senang kamu datang sesuai perjanjian kita."

Affad menatap tajam ke arah Maruki.

"Kami tidak datang ke sini untuk menerima tawaranmu, konselor Maruki."

"Aku yakin itu kasusnya untukmu, Affad. Namun, aku di sini untuk mendengar pendapat Nabiru."

Affad menatap ketus ke arah Maruki. Pedang hitam dengan gerigi yang dia genggam di tangan kirinya ingin sekali dia ayunkan sekarang ke musuhnya itu.

Suasana itu tegang, seakan semua tergantung dari jawaban Nabiru yang akan menentukan kelanjutan daripada semua ini. Antara mengkhianati semua perjuangannya hingga berada di titik ini, atau mengkhianati kebahagiaan yang telah didapatkan oleh semua teman-temannya. Nabiru berada di persimpangan besar.

Hening itu menenggak rasa tenang di pikiran mereka. Detik demi detik berlalu, menanti jawaban keluar dari mulut seorang Nabiru. Jawaban yang baik Affad maupun Maruki ketahui akan menentukan akhir daripada konflik ini.

"Aku mene-"

Suara itu tercekat oleh kalimat yang secara beruntun keluar di benak Nabiru.

"Aku ingin sekali keluargaku kembali utuh, tetapi aku sadar semua ini membuatku kuat."

"Aku ingin sekali teman-temanku percaya kepadaku, tetapi pengkhianatan mereka membuatku kuat."

"Aku ingin sekali keluargaku kembali bersamaku, tetapi aku sadar ini memberikanku sebuah kepercayaan bahwa aku tidak perlu bergantung lagi."

"Aku ingin sekali mereka mengerti tentang penderitaanku, tetapi aku sadar bahwasanya kita perlu berjuang sendiri dulu sebelum bertemu orang senasib."

"Aku ingin sekali mereka mengerti tentang pelecehan yang aku alami, tetapi aku sadar bahwasanya kala aku diam semua akan dibawa arus begitu saja."

"Aku ingin sekali mereka paham betapa jahatnya hinaan mereka kepadaku, tetapi aku sadar aku perlu bersuara untuk membuat mereka sadar."

Suara-suara dari teman-temannya dulu kala mereka sempat ragu terhadap perjuangan mereka menggema di benaknya. Tepat di akhir dari suara itu, dia mendengar potongan kalimat dari Affad.

"- dan aku sadar aku telah berada di titik tanpa kembali, tetapi setidaknya ini satu kesempatan aku untuk sedikit menoreh kebaikan sebelum nyawaku dirampas kembali. Pikirkan pilihanmu sekali lagi, Nabiru."

Nabiru tersenyum, menyadari sekarang apa yang harus menjadi jawabannya.

"Maaf, konselor Maruki... Aku menolak realitamu!"

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now