Antara Emansipasi, Wisuda dan Taaruf [Nanda Tiara]

3 1 0
                                    

Terlalu lama menjadi seorang jomblo seakan membuat gue lupa seperti apa rasanya jatuh cinta. Di saat teman-teman gue pulang pergi diantar pacarnya masing-masing, gue masih setia menggunakan ojek online yang selalu sedia setiap saat. Di saat mereka sibuk nentuin tempat untuk malam mingguan, gue dengan santainya udah rebahan dikasur dengan seperangkat earphone dan lagu-lagu di-spotify sambil scroll twitter.

Begitulah kehidupan gue dari zaman gue masih maba sampai semester akhir ini. Terakhir gue pacaran pas kelas dua belas dan gue malah diputusin sebulan menjelang Ujian Nasional. Bilangnya sih, doi mau fokus belajar UN, tapi nyatanya dua minggu kemudian udah menyebar gosip kalau dia macarin anak IPS. Brengsek! Nilai UN gue jadi jelek gara-gara H-1 Ujian Nasional, gue malah nangisin dia dan nggak belajar. Teruntuk mantan gue bernama Fadil, tolong segera minta maaf kalau lo baca tulisan ini!

Gue udah sidang dan sebentar lagi mau wisuda. Di saat-saat seperti ini, Mama bawel banget nanyain siapa cowok yang bakal gue bawa pas wisuda nanti. Jelas-jelas nggak ada! Masa gue mau bawa si Arthur, kucing peliharaan gue? Lalu, Mama malah nyuruh gue cari jodoh. Dikira cari jodoh segampang membalikkan telapak tangan?

Gue udah pusing banget gara-gara Papa yang dari dulu cuek banget tapi menggemaskan itu mulai ikutan nanyain pacar gue. Rasanya gue pengen menghilang aja. Namun, niat itu buyar seketika saat gue tanpa sengaja liat cowok itu abis keluar dari masjid dekat kampus. Rambutnya masih sedikit basah, pakai baju koko putih dan celana chino warna krem. Gue mematung di tempat dan dia menoleh lalu senyum dengan manisnya.

Gue ambyar di tempat.

Cowok itu bikin gue rajin datang ke kampus tiap hari hanya untuk mengumpulkan informasi tentang dia dan untung-untung bisa berpapasan. Dan benar aja! Gue berpapasan lagi sama dia pas gue lagi pesan makanan di kantin bareng Shania—teman gue yang dikenal sebagai biang gosip di kampus. Iseng, gue nanya ke Shania mengenai cowok itu.

Dia jawab, "Namanya Mahesa. Emang ganteng banget gila dia tuh. Mana dia itu ya, Ru, rajin banget ibadahnya! Hampir tiap hari nih ya, gue liat dia ke masjid. Pokoknya bawaannya itu adem banget deh kalau liat dia."

Gue senyam-senyum dengernya.

"Dia udah lulus tahun lalu, tapi masih suka ke kampus gitu sih. Gue juga nggak ngerti urusannya apa. Yang gue denger sih, dia masih suka ngisi kajian mingguan gitu deh di kampus. Lo dateng aja, Ru, tapi gue nggak ikut, ya. Ntar khilaf, tau-tau gue jadi muallaf aja," lanjutnya diselingi candaan.

Gue ketawa kecil, dalam hati gue langsung membulatkan tekad untuk ikut kajian mingguan yang diadakan setiap hari Senin. Selama gue jadi mahasiswa, gue nggak pernah ikut acara begituan karena gue adalah penganut mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang.

Hari Senin, gue beneran datang sekitar jam satu siang dan itu udah rame banget. Gue duduk di barisan belakang, yang untungnya di depan ada semacam mimbar untuk pembicara jadi setidaknya gue masih bisa liat Mahesa dengan jelas.

Hari itu, gue cuma pakai celana jeans, kaos lengan pendek, dan tentu saja tanpa hijab. Beberapa kali, gue nge-gep orang-orang yang menatap gue dengan tatapan men-judge. Gue cuek aja sih, walaupun nggak dipungkiri gue rada nggak nyaman diliatin begitu.

Keadaan langsung sunyi begitu Mahesa datang dan membuka acara. Masih dengan mukanya yang adem nan tampan, senyumnya yang manis dan sekarang nambah lagi kelebihannya dia. Public speakingnya bagus! Cara dia menyampaikan materi jelas dan bikin audiens nggak ngantuk. Gila, makin kesemsem kan gue sama dia!

Gue udah ikut kajian selama sebulan, atau empat kali pertemuan tanpa pernah absen. Selama itu gue masih tetap dengan penampilan gue yang seadanya dan tanpa hijab. Hal itu gue lakukan sebelum pertemuan kelima ini. Pembahasan mengenai hijab untuk seorang perempuan yang Mahesa bawakan bikin gue tertampar. Tanpa sadar gue jadi merenung.

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now