-Andai Aku Jadi Kaya- [Kanmas]

6 1 0
                                    

Duh enaknya, jadi orang kaya
Beli apa, juga bisa
Pergi kemana saja juga bisa
Bisa kaya ga kita ya?
Bisa, pasti bisa ~

Lagu soundtrack film Joshua Oh Joshua mengalun dari smartphone. Aku menghela napas.

"Duh gimana ya, kulkas udah kosong, tapi uang mama gaada,"gerutu mama sambil terus melipat kain. Aku turut membantu sambil menonton film.

"Mama minta sama kakaklah, kan kakak udah kerja. Udah gajian dia tu,"saranku.

"Mama gamau minta, mama maunya dia inisiatif ngasih gitu. Ga enak minta minta."

Yah, mama selalu begitu. Ah. Andai saja aku ada uang, mungkin aku akan memberikan semuanya pada mama. Sayangnya, aku hanyalah si bungsu yang masih sekolah dan belum kerja. Masih bergantung pada mamah dan kakak untuk masalah keuangan.

"Mama pinjem dulu deh, sama siapa gitu. Nanti mama ganti,"ujar mama.

"Gausah ma, minta sama kakak aja. Aku bilangin ya?"

"Gausah. Gaenak mama minta gitu,"tolak mama.

"Ma, anak mama tu ga cuma 2, tapi 5. Yang bantu mama banyak harusnya. Gaada, aku kasih tau kakak." Aku bangkit dari duduk dan masuk ke kamar. Syukurlah, kakak ketigaku, kak Nira, sudah mencuri dengar percakapan tadi.

"Aku cuma bisa bantu mama sedikit, aku juga lagi seret. Belum ada streaming, belum ada panggilan endorse,"jawabnya. Aku mengangguk.

"Berapa pun itu, tak apa. Asal mama jangan ngutang di luar sana." Kak Nira mengangguk dan memberikan uang bergambar pak Soekarno sebanyak 2 lembar.

"Kasih ke mama, kalo ada rejeki lebih nanti sekalian sama uang jajanmu,"tukasnya. Aku mengangguk dan pergi keluar kamar. Menemui mama yang masih melipat baju sambil menonton film azab.

"Ma ini dari kak Nira, buat belanja besok." Aku memberikan uang tersebut.

"Alhamdulillah. Tolong taruh di dompet mama ya,"pintanya. Aku mengangguk.
"Besok aku temenin belanja ya."

Hari demi hari berlalu. Belanjaan yang di beli tempo hari semakin berkurang. Mama berinsiatif untuk membelinya lagi, tapi dilarang oleh kak Ida, kakak pertamaku.

"Biar Ida aja yang beli ma."

Ia pun pergi keluar bersama suaminya. Pulangnya, ia membawa sekantong belanjaan berisikan tepung bumbu, sabun, detergen, pasta gigi, sikat gigi, dan lain lainnya. Ia melupakan dua unsur yang penting: minyak dan beras.

"Minyak dan beras mana? Udah habis itu,"tanya mama.

"Oh iya. Ida lupa beli. Takut kurang uang Ida tadi,"jawabnya. Mama hanya manut-manut. Besoknya, mama membeli sekarung beras dan 2 liter minyak goreng.

Lagi, masalah keuangan kembali menepik. Kali ini terjadi pada kakak keempat, kak Ira. Tiada angin tiada hujan, smartphone nya rusak. Akhirnya terpaksa smartphone itu menginap di kounter. Seluruh biaya perbaikan menghabiskan uang yang cukup lumayan, untuk pengangguran pencari kerja sepertinya. Akhirnya, setelah mengemis dengan kakak kakaknya, ia dapat menembus biaya perbaikan itu.

Kami ramai, 5 bersaudara. Tapi dua anak tertua, tidak pernah akur. Mereka bagai minyak dan air, sulit di satukan kecuali bila bertemu air dengan pH 10. Ya. Mustahil. Seringkali mereka meributkan masalah kecil yang di besarkan. Berebut siapa yang bisa mencuri hati mama.

Seperti malam ini. Aku, mama, dan keluarga kak Ida baru saja pulang. Kami sempat belanja sedikit tadi. Kak Afi, kakak keduaku, membuka kantong belanjaan dan melihat struk.

"Apa nih cuma belanja segini. Udah kerja pun, udah mapan pun, masih aja bantu sikit,"komentarnya. Bagai minyak di sulut api, mulailah kak Ira panas dan mencak-mencak.

"Aku kan lagi gaada duit! Aku kan kasih semampuku lah, kalo aku mampu segitu ya segitu kukasih!" Kak Ira memberi penjelasan.

"Halah sok gaada duit kau, iyalah gaada kau habisin buat sendiri. Bukan buat bantu mama."

Suasana semakin panas. Mama berusaha melerai mereka berdua. Hampir saja ada barang yang pecah, kalau kak Nira tak datang. Hanya aku dan kak Ira yang sibuk menonton. Sudah biasa. Ini sudah kesekian ribu kali mereka bertengkar kok. Sebenarnya aku pusing dengan keributan itu, tapi aku tak ambil pusing. Memang setiap hari seperti itu kan?

"Udahlah, mau kasih banyak kek. Mau kasih dikit kek. Yang penting tuh ikhlas. Gaada banding bandingin. Gaada di ungkit ungkit!" Kak Nira menceramahi. Tapi kak Ida dan kak Afi tak dengar, mereka keburu panas. Pertengkaran itu berakhir saat suami kak Ida datang dan membawanya ke kamar.

Besoknya, mama memintaku menemaninya service motor. Aku manut saja. Sesampainya di bengkel, kami menunggu motor di service. Mama memainkan cincin di jemarinya.

"Besok temani mama ya, mama mau jual emas. Biar kakak ga berantam lagi soal uang. Biar mama ada uang."

Ah. Andai kita orang kaya ma.
Tak ada lagi mungkin keributan masalah keuangan.
Sudah hidup enak tanpa mikir 'besok cukup tidak buat belanja'
Duh enaknya jadi orang kaya.


"Iya ma".

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now