Hujan [Hatimah]

18 2 0
                                    

Menurut mereka, hujan mengingatkan pada kenangan. Namun bagiku, hujan adalah simbol kematian. Kenapa? Sebab aku bisa melihat kematian manusia saat hujan. Bisa siapa saja; mereka, dia, bahkan kamu. 

Tik... Tik... Tik

Bunyi hujan yang menimpa genting masih terdengar sejak setengah jam yang lalu. Aku belum 'melihat' apapun, tetapi aku juga tidak berani sekadar menyibak tirai dan membuka jendela. Biasanya, intensitas kemampuan anehku ini akan meningkat jika melihat hujan secara langsung. Makanya, aku hanya tiduran dan menarik selimut hingga menutup kepala, serta memejamkan mata. Sungguh, aku berharap tidak mengetahui kematian siapa pun untuk selama-lamanya.

Lima menit kemudian...

Masih tidak terjadi apa-apa, dan aku sudah mengantuk. Ketika mataku secara rileks terpejam, aku melihatnya.

Seorang wanita tua kejang-kejang.

Aku mengenal baik wanita tua itu. Dia adalah calon mertuaku. Mengingatnya, membuat air mataku luruh.

Aku segera bangun, dan mengambil ponsel yang berada di sisi bantal untuk menghubungi seseorang. Teleponku diangkat pada dering ketiga.

"Mas, aku melihat bunda...." Aku tak sanggup melanjutkan ucapanku. Terlalu sulit berbicara saat dadaku bergemuruh karena menangis.

"Aku sudah ikhlas, maka kamu juga harus ikhlas." Suara mas Wikar terdengar serak. Aku yakin dia sedang menahan tangis hanya untuk menguatkanku. Dia memang tahu perihal keanehanku ini.

Lagi, aku harus ikhlas. Entah sampai kapan.

...

Mas Wikar dan aku akan menikah pada lusa. Aku sangat bahagia. Namun, bahagiaku runtuh ketika hujan turun membasahi bumi setelah sebulan lamanya absen.

Aku melihatnya dengan cepat.

"KENAPA?" teriakku pada semesta. Aku tidak peduli dengan diriku yang sudah basah kuyup. Aku tidak terima jika kebahagiaanku satu-satunya juga akan terenggut. Tak bisakah aku bahagia?

Dengan bertelanjang kaki, aku berlari menuju rumah mas Wikar. Aku abaikan rasa sakit pada telapak kakiku. Tujuanku adalah menemui laki-laki yang aku cintai, mas Wikar.

Laki-laki manis itu sedang berdiri di balkon. Dia tampak terkejut melihat kedatanganku. Aku tahu dia khawatir, sehingga bergegas turun dan kini menghampiriku.

Aku langsung memeluknya erat, dan menangis di dada bidangnya. Membuatnya ikutan basah sepertiku.

"Kamu melihat apa, Sia?" Tanyanya halus, sehalus sapuan tangannya di kepalaku.

"Aku melihat...." Tangisku pecah. Selalu saja tak sanggup untuk menceritakan apa yang aku lihat saat hujan.

Yang bisa aku lakukan adalah semakin erat memeluk mas Wikar, sebelum kegelapan menjemputku.


Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now