Ungu [Daffa]

7 2 0
                                    

"Mereka berada di sekitar tempat ini. Peluru senjataku akan menangani mereka," ucapku seraya mempersiapkan senjata khusus milikku. Sebuah pistol yang melepaskan penekan udara yang menghancurkan besi dan metal seperti api membakar kertas. Laki-laki yang berada di sampingku menganggukkan kepalanya.

Sekumpulan benda besi terbang terlihat dalam jarak pandang kami. Mereka tampak mencari keberadaan kami dan rekan-rekan pemberontak lainnya. Saat benda-benda itu membelakangi kami, aku mengarahkan pistolku dan menembakkannya.

Piringan besi berterbangan bagaikan anai. Aku dan laki-laki itu menampilkan diri kami, dan melanjutkan pergerakan kami.

"Tidak buruk, Senya."

Aku mengabaikan komentar laki-laki itu. Kami sampai di posisi yang dekat dengan pusat dari semua kekacauan ini. Sebuah mesin raksasa yang mengendalikan otak milyaran manusia di muka bumi. Beberapa pengendali otak berpatroli di sekitarnya. Ada beberapa orang berpakaian baju anti-radiasi dengan senjata radiasi mereka.

"Giliranmu, Sani."

"Aku tahu."

Dia pun mengarahkan pistol miliknya yang dimodifikasi dengan sebuah peluru penghancur sel manusia. Dengan segera dia menembakkan pistol itu ke arah semua musuh kami. Mereka tewas sebelum menyadari apa yang terjadi.

"Sedikit lagi. Aku akan menanamkan bom ini begitu kita berada di depan gedung itu."

Aku menganggukkan kepala mendengar kalimat Sani, dan kami bergegas mendekati mesin itu. Penjagaan mereka sudah sepi, karena banyak yang dialihkan untuk maju melawan serangan pemberontakan.

"Oke. Tinggal me-"

Sebuah ledakan elektromagnet mengenai kami. Baju exoskeleton yang kami pakai terhenti oleh ledakan itu.

"EMP!"

Kalimat itu keluar dari mulut Sani. Berikutnya, kami melihat seseorang mendekati kami.

"Wah, menarik. Dua teman lamaku ternyata menjadi pemberontak."

Aku menatap orang dengan postur ideal itu dengan sorotan tajam. Laki-laki yang telah mengkhianati umat manusia sebelumnya ternyata menunggu kami.

"Aku tahu kalian akan menyusup ke sini. Tuan Fallen tentu akan senang mengetahui dua pahlawan pemberontak telah ku tangkap."

"Sial kau, Aybe! Kau telah menjual umat manusia ke orang gila-"

Peluru timah menancapkan diri dengan cepat di kepala Sani, mengejutkanku. Saat itu, hanya satu teriakan yang keluar dari mulutku.

"Sani!"

"Bodoh. Kau memilih mati kala melawan kejayaan Tuan Fallen."

"Kenapa!? Kenapa kau rela menjadi mainan orang itu!? Kau bisa tidak dia kendalikan, lalu kenapa kamu loyal!?"

Pistol itu dia arahkan ke kepalaku. Dia tersenyum menyeringai.

"Bodoh. Aku memilih jalan ini. Sayonara, Senya."

Peluru itu meletus, menembus kepalaku dengan mudahnya. Baju ini tidak memberikan sedikitpun perlindungan dari amarah seorang Aybe. Seperti inikah, aku berakhir?

"Bodoh."

Apakah aku mati? Semuanya gelap.

"Senya! Senya!"

Aku perlahan membuka mataku. Seorang perempuan memeluk tubuhku dengan cepat begitu mataku mulai terbuka.

"Afika. Kamu tidak perlu seperti itu," komentar perempuan yang lain. Aku menyadari mereka yang ada di tempat ini adalah rekan-rekan pemberontakku. Bagaimana bisa?

"Kalian tidak apa-apa kan?"

Seorang laki-laki yang memimpin operasi kami, Kusuma, menampilkan dirinya. Dia melihat ke arah kami dengan wajah khawatir.

"Aku yakin aku baru saja mati. Selebihnya, masih oke."

Suara Sani masuk ke telingaku. Syukurlah, dia juga baik-baik saja.

"Senya?"

"Sama, Pak Kusuma."

"Buang formalitasnya. Kita di sini semua sudah lama berteman."

"Bagaimana kami selamat?"

Mereka tiba-tiba menjadi ragu. Sebuah kertas ungu aku terima.

'Maafkan Aku.'

"Ini?"

"Kamu tahu siapa, dari tulisannya."

Aku menatap bingung, lalu melihat ke arah Kusuma.

"Mesin itu telah hancur. Dunia telah terbebas."

"Dan musuh?"

"Semua hancur atau dipenjara."

"Teman lama kita..."

Tampak jeda panjang dari seorang Kusuma. Semua di ruangan itu terdiam, seakan tidak ada yang ingin berkata apapun.

"Dia musnah bersama mesin itu."

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now