Sebuah Cerita Patah Hati [Nanda Tiara]

2 1 0
                                    

Eggy entah untuk keberapa kalinya menghela napas. Dia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil matanya terfokus ke depan, menatap layar komputer yang menampilkan bait paragraf yang harus segera diedit.

Gara-gara insiden putus hubungan dengan pacarnya yang sekarang udah jadi mantan, konsentrasi Eggy jadi buyar. Naskah yang seharusnya rampung diedit satu minggu yang lalu masih tersendat sampai sekarang. Tentu saja atasannya ngomel panjang lebar (yang hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan) dan Eggy cuma diberi waktu dua minggu untuk merampungkan sisanya.

Mikirin itu, Eggy jadi stress sendiri. Dalam hati sibuk memaki mantan pacarnya yang enggan Eggy sebut namanya itu.

Begini ya rasanya patah hati. Pengennya menyibukkan diri biar nggak keinget mantan, tapi bawaannya males dan nggak mood. Jadi susah sendiri, apalagi pekerjaan Eggy sebagai editor membutuhkan fokus dan konsentrasi yang tinggi. Kalau yang ada dipikiran Eggy saat ini cuma si mantan, ya mana bisa fokus!

Di umurnya sekarang, rasanya susah memulai suatu hubungan dari awal. Eggy bukan tipe orang yang akan dengan mudah menaruh kepercayaan pada seseorang. Belum lagi pertanyaan 'kapan nikah?' dari beberapa orang bikin Eggy tambah mumet.

Patah hatinya nggak akan sehebat ini kalau kenangan yang ditinggalkan nggak begitu berkesan. Masalahnya kehadiran cowok itu dalam hidupnya benar-benar meninggalkan jejak yang dalem banget di hatinya. Parahnya lagi, cowok itu selalu menemaninya saat Eggy berada di titik terendah dalam hidupnya.

Patah hatinya juga nggak akan sehebat ini kalau alasan kandasnya hubungan mereka bukan karena perbedaan kasta. Eggy sadar banget dari awal, resiko pacaran sama anak sultan tuh kayak gini. Ditinggalkan karena secara materi derajatnya berbeda. Tapi tetep aja Eggy nggak siap.

Mengingat itu rasanya Eggy mau nangis lagi. Air matanya sudah siap jatuh tatkala suara seseorang dari arah pintu menginterupsi atensinya. Eggy buru-buru menyeka sudut-sudut matanya dan menarik senyum simpul seolah semuanya baik-baik saja.

"Lo udah pulang, Bi?"

Laki-laki yang disapa Abi itu tidak menjawab. Dia sibuk merapihkan alat tulis kantor yang berserakan di atas meja Eggy setelah sebelumnya menaruh kantong plastik yang Eggy yakini berisi makanan di salah satu sisi meja.

"Udahan dulu kerjanya. Gue tau lo belum makan dari tadi siang."

"Ih, jangan diberesin. Gue udah dikejar deadline, Abiii," rengek Eggy yang seketika membuat Abi menghentikan aktivitasnya.

"Istirahat dulu bentar, Gy. Muka lo udah kusut banget itu, kasian gue liatnya," balas Abi sembari menarik kursi untuk duduk di samping Eggy.

Eggy bisa melihat raut khawatir yang terpatri jelas di wajah Abi. Sebenarnya Eggy bisa saja membawa pekerjaannya ke rumah. Namun, Eggy tidak mau kejadian hari-hari kemarin terulang lagi. Niat Eggy yang awalnya mau menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda malah berakhir tragis dengan menangis mengenang sang mantan. Makanya Eggy memilih bertahan di kantor walaupun sudah larut malam.

"Gue bawa makanan kesukaan lo nih, ayam goreng pecel lele. Bentar ya, gue suapin."

Eggy paham betul bahwa perhatian-perhatian yang selama ini Abi berikan untuknya bukan sekadar perhatian sesama rekan kerja, melainkan lebih dari itu. Eggy tahu, Abi menaruh perasaan untuknya. Hanya saja laki-laki itu tidak pernah mengutarakannya.

"Abi," panggil Eggy.

"Apa?"

"Bilang sama gue kalau lo sayang sama gue, Bi."

Ucapan Eggy berhasil membuat Abi menghentikan aktivitasnya yang sedang membuka bungkus makanan. Laki-laki itu mendongak, menatap Eggy yang sedang balik menatapnya serius.

"Bilang sama gue," ulangnya dengan nada getir.
Abi tidak mengindahkannya. Laki-laki itu malah melanjutkan aktivitasnya seolah ucapan Eggy tadi hanya angin lalu. Eggy yang merasa diabaikan menahan tangan Abi.

Keduanya saling menatap dalam satu sama lain tanpa sepatah kata. Perlahan Eggy mendekatkan wajahnya. Keheningan yang tercipta tanpa sadar membuat keduanya terbuai. Sampai ketika jaraknya hanya terpaut dua senti, Abi menjauhkan wajahnya.

Jantung Abi berdegup cepat. Laki-laki itu memalingkan wajahnya ke sembarang arah seraya berdiri menjauh dari Eggy. Terdapat rona merah di pipinya. Salah tingkah. Namun, tidak dipungkiri, Abi juga marah dan kecewa.

"Gue sayang sama lo bukan berarti lo bisa jadiin gue pelampiasan lo, Gy," ujar Abi pada akhirnya setelah terjadi keheningan selama beberapa saat.

"Gue capek ngadepin lo yang patah hati terus-terusan kayak gini," sambungnya.

Eggy hanya diam, mengusap wajahnya kasar dengan perasaan kalut. "Maaf, Bi."

Abi mengembuskan napasnya. Kembali mendudukkan diri di samping Eggy. Menarik perempuan itu ke dalam pelukannya.

"Sekacau apapun lo sekarang, ujungnya bakal balik lagi ke titik baik-baik aja, Gy. Yang bisa gue lakuin cuma bantu lo biar bisa sampai di titik itu."

"Mantan itu nggak usah lo lupain, Gy. Makin lo berusaha buat lupain, malah makin bikin lo keinget terus sama dia," sambung Abi.

Suara lembut dan menenangkan milik Abi sukses membuat pertahanan Eggy runtuh seketika. Air mata yang sedari tadi ditahannya merembes keluar, membasahi kemeja biru laut yang Abi kenakan.

"Sekarang lo nangis aja sepuasnya, gue yakin minggu depan lo udah ketawa-ketawa sambil makan pecel lele."

"Tresna dua minggu lagi mau nikah, Bi," ujar Eggy di sela isak tangisnya.

"Gue temenin kondangannya," sahut Abi.

"Gue pengin nikah juga, Bi."

Abi terkekeh pelan lalu membalas, "Iya, nanti sama gue."

Ucapan Abi barusan mungkin terdengar seperti candaan yang tidak berarti apa-apa. Namun, dalam hati, Abi mengharapkan kalau ucapannya itu akan menjadi nyata di kemudian hari.

-tamat

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now