Bahagia [Daffa]

6 2 0
                                    

"Kenapa ini harus terjadi!?"

Lelaki itu memukul meja di depannya dengan keras. Lembaran-lembaran berisi grafik dan rumus dia buang ke udara seperti sampah. Matanya berair.

"Mustahil ini terjadi! Tidak! Aku tidak percaya ini!"

"Kenapa!? Kenapa harus dia dari semua orang!?"

Dia memukul keras meja di depannya sekali lagi. Jika meja itu terbuat dari kaca, mungkin retakan telah menjadi hiasan meja itu.

Lelaki itu membenarkan kaca mata yang dia pakai. Lengan kanannya dia pakai untuk membersihkan matanya yang sembab. Dia melihat ke jam yang terpasang di tangan kirinya.

"Alisa..."

Matanya menitikkan air perlahan. Dia menghela nafas berat, menebas hawa yang mencekik tenggorokan. Tangannya mengambil dengan cepat ponsel yang tersimpan di saku kanan celananya. Beberapa nomor dia tekan, frustasi bersamanya.

"Iris!"

Untuk beberapa lama, dia terdiam mendengarkan lawan bicara nya. Tidak ada kata, maupun tindakan dia lakukan. Diam seperti patung, dengan nafas mengambil udara secara periodik.

"Apa..."

Ponsel itu terjatuh. Dengan segera dia berganti pakaian. Setelan jas hitam dengan baju kemeja, diikuti dengan celana hitam kain dia kenakan. Sepatu yang bertengger di depan ruang apartemen milik lelaki itu langsung hilang bersama dengan cahayanya. Tiga menit, dan lelaki itu sudah berada di lantai dasar apartemen.

Kendaraan berwarna coklat tua yang parkir dengan tenang harus merelakan rehat yang dia nikmati. Lelaki itu mengaktifkan satu-satunya kendaraan yang dia punya di kota ini. Dengan cepat dia menembus jalan raya yang sunyi. Jam tangan miliknya menunjukkan angka 11:46.

"Apakah ada yang bersedia untuk membantu pasien, dia perlu do-"

Suara pintu yang dibanting keras mengejutkan sang dokter di ruangan. Seorang laki-laki tiba dengan nafas terengah-engah. Semua mata di ruangan itu tertuju kepada dia.

"Saya bersedia pak," ucapnya cepat. Tentu saja, darah mereka kompatibel. Dari semua yang hadir, pada akhirnya hanya laki-laki itu yang tinggal bermalam. Matanya sayu, menyaksikan perempuan yang terbaring lemah di hadapannya.

"Kenapa harus seperti ini?"

Dia hanya bisa menyaksikan betapa tidak berdaya dirinya. Dia bisa melihat, bagaimana perempuan yang telah menyelamatkannya dua tahun lalu, kini berganti menjadi yang perlu diselamatkan.

"Alisa..."

Malam itu pun berlalu, dan laki-laki itu tidak dapat tidur sedikitpun. Dia menanti perempuan itu. Dia menanti senyuman yang membuat dia mendapatkan cahaya. Dia menanti-

"Ayah!"

Teriakan itu mengejutkan lelaki itu. Perempuan itu sadar, tetapi wajahnya terlihat panik.

"Ayah! Ayah dimana!?"

"Tenang Alisa, tenang."

"Ayah!? Aku ingin bertemu ayahku!"

Lelaki itu tidak dapat mengatakannya. Dia tidak ingin perempuan di hadapannya terluka. Namun, menyaksikan dia meraung seperti ini, membuat hatinya bimbang.

"Tenang Alisa. Tenang. Ayahmu..."

Kalimat itu dia gantungkan. Perempuan itu berhenti meraung meminta ayahnya untuk sesaat. Dia sepenuhnya menyadari maksud kalimat laki-laki di hadapannya.

"Ayah! Kembalikan ayahku! Ayah!"

Pilu. Laki-laki itu hanya bisa melihat pilu. Perempuan yang selalu tersenyum di hadapannya ini, sekarang menjadi perempuan paling histeris dalam hidupnya. Dia tidak kuat menyaksikan ini.

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now