The Feeling [Nanda Tiara]

3 2 0
                                    

"Jalanilah kehidupan yang benar! Hiduplah dengan baik!"

Begitulah nasihat yang pria itu lontarkan padaku sesaat sebelum menutup pintu sel tahanan. Aku dinyatakan bebas setelah mendekam di penjara selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya.

Pria paruh baya itu bernama Adam. Seorang sipir penjara yang bertugas menjaga para napi di sel tahanan. Seperti petugas pada umumnya, Adam memiliki watak yang tegas tapi juga hangat. Adam bukan pria yang mudah mengekspresikan perasaannya. Mungkin dari luar Adam terlihat seperti orang yang hobinya marah-marah. Namun, ketika kau mengenal pria itu lebih dekat, kau akan menyayanginya.

"Bodoh! Kenapa kau tidak melawan ketika dipukuli? Atau paling tidak, berteriaklah untuk minta tolong! Membunuh orang saja kau bisa, kenapa ketika dipukuli kau malah diam saja?!"

Aku dimarahi habis-habisan begitu Adam melihat luka-luka lebam di wajahku setelah dikeroyok oleh beberapa napi. Dia cerewet sekali, tapi tetap mengobati lukaku dengan telaten. Aku bahkan bisa melihat raut khawatir di wajahnya. Pria itu seolah menjadi figur ayah bagiku, sekaligus menjadi teman bicara untuk berbagi pikiran.

Penjara tidak seburuk yang aku bayangkan. Mungkin dari luar terlihat menyeramkan karena isinya adalah orang-orang kriminal yang telah banyak melakukan kejahatan. Namun, kau tahu? Dulunya, orang-orang ini (yang kita anggap jahat) adalah orang-orang yang baik. Sebelum mereka merasa dikecewakan oleh dunia dan melampiaskannya dengan cara yang salah. Begitu yang Adam ungkapkan padaku, yang seketika membuat aku tercenung.

"Jeff!"

Suara seorang wanita membuyarkan lamunanku. Aku menghentikan langkah. Menatap wanita yang berdiri di depan sana dengan mantel tebalnya. Wanita itu berjalan pelan mendekat ke arahku kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Rasa rindu langsung menyeruak dalam dada. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan ini.

"Maaf Ibu datang terlambat," ujarnya. "Ibu harus membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam nanti."

Aku masih tidak bisa berkata-kata. Terlalu banyak hal yang ingin aku ungkapkan. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan Ibu selama sepuluh tahun terakhir setelah tragedi itu. Selama di penjara, aku selalu menolak kunjungan darinya. Kenyataan bahwa aku adalah seorang anak yang pernah mencoba membunuh ayahnya sendiri membuatku malu untuk menampakkan diri di depannya. Aku merasa tidak pantas.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya seraya melepaskan pelukannya. Wanita itu menatapku lembut dengan sorot matanya yang teduh. Membuatku merasa tenang seolah beban-beban yang selama ini aku pikul terhempas bebas ke udara.

"Aku baik-baik saja," jawabku.

Ibu masih tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menyeka air mata di sudut matanya. Melihat itu, aku jadi ingin menangis.

"Jangan menangis," ucapku.

"Kau terlihat kurus," katanya.

"Jangan khawatir, aku makan dengan baik di sana," sahutku.

"Kau harus makan banyak nanti malam."

Aku mengangguk dengan perasaan senang tentu saja. Kemudian, Ibu mengamit lengan kananku. Menggandengnya untuk berjalan bersisian.

"Kau sudah tumbuh semakin besar, ya. Terakhir Ibu melihatmu ketika umurmu masih sembilan belas tahun, masih remaja."

Aku hanya mendengarkan celotehan-celotehan yang Ibu lontarkan. Ucapan-ucapan yang entah kenapa terasa seperti dongeng pengantar tidur untukku.

"Ibu membuka kedai kecil di rumah, seperti apa yang pernah kau bilang dulu. Masakan Ibu itu enak, orang-orang harus mencobanya, iya kan?"

Mengenang itu, aku tertawa kecil. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku habiskan dengan mengenang masa-masa indah sewaktu aku kecil dulu bersama Ibu. Masa-masa ketika aku masih bisa merasakan bagaimana rasanya bahagia.

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now