Hujan Sebelum Pelangi [Lily]

2 1 0
                                    

Tidak menyukai hujan bukan berarti membencinya, hanya saja tetesan dari langit itu membuat kenangan yang ingin dilupakan kembali muncul.

"Apakah hari ini akan hujan lagi?" gumam gadis berkulit putih itu sambil menatap langit.

Awan mendung yang mulai menggelap, membuat Lily merasa enggan untuk keluar dari bangunan tempatnya berkerja. "Kau tidak pulang?" tanya pria paruh baya—pemilik rumah makan padang—atasannya berkerja.

"Ah ... sebentar lagi, Pak Asep perlu bantuan?" tawar Lily kepada pria tua yang bernama Asep.

"Tidak, saya hanya ingin menutup lebih awal karena lebih awal," jelasnya dengan ramah.

"Saya pamit Pak,"tutur Lily dan langsung berlari meninggalkan rumah makan padang tersebut.

"Aneh sekali anak itu," ucap Pak Asep yang tengah menatap heran.

***

Lily terbaring di kasur. Merasa ada yang hilang, namun ia abaikan. "Semua baik-baik saja, setiap orang pasti ada alasan kenapa harus pergi," lirihnya pada diri sendiri.

Langit malam di luar sana masih menurunkan rintiknya. Keadaan rumah yang sepi membuat Lily melamun tanpa beranjak dari posisinya.

"Kenapa? Kenapa harus aku hiks."

"Tidak bisakah Tuhan memberi kebahagiaan untukku?"

Ucapan putus asa terlontar, air mata perlahan turun dengan isak tangis pelan. Ingin sekali rasanya mati detik ini juga.

"Kau tidak boleh mati Sayang." Suara itu, suara yang sangat ingin Lily musnahkan.

"Pergi kau dari sini! Biarkan aku hidup normal!!" teriaknya dengan putus asa.

Seperti orang gila, Lily bangkit dan melihat di sekitar siapa pemilik suara tersebut. Nihil, tidak ada siapa-siapa di sini selain dia. "Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" ucapnya sambil menyandar ke tembok.

"Aku harus menghilangkan rasa sakit ini." Lily bangkit dan membuka laci di samping kasur, ia mengambil silet dengan senyum puas.

Saat ia membuka lengan panjang, terdapat banyak bekas goresan.

Dengan mata basah ia tetap melakukan hal tersebut sampai merasa puas. "Akhirnya, bebanku hari ini menghilang."

Ia menyimpan benda tersebut, lalu mengambil beberapa butir obat tidur. "Selamat malam."

***

Pemuda itu dengan santai menembus hujan deras, ia tampak menikmati tiap tetes hujan tanpa takut besok akan sakit. "Hei, kenapa kau begitu lama sekali? Ayolah cepat," teriaknya dengan seseorang dari belakang..

"Kau gila? Hujan deras seperti ini menyuruhku untuk bermain," protes orang tersebut.

Ia tidak menyukai hujan, karena itu bisa membuatnya sakit sehingga tidak menghasilkan uang.

"Sekali-kali kau harus merasakan ini, bukankah ini bisa menjernihkan pikiranmu?"

Mereka memilih untuk berhenti di bawah pohon dalam keadaan hujan tanpa adanya petir. "Aku tahu kau sangat suka hujan, tapi tidak perlu juga mengajakku Alex bodoh," ungkapnya penuh emosi.

"Kau imut sekali saat marah seperti ini Ly," ucapnya tanpa menghiraukan ucapan pedas Lily.

"Sudahlah, gombalan tak berpengaruh. Lebih baik aku pulang dan berkerja." Belum Lily menjauh, Alex langsung menariknya.

"Kenapa hm? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk berhenti bekerja? Keluargamu tidak akan pernah menganggal walau kau sering memberi mereka uang, sadarlah Ly," sindir Alex.

"Kau tidak ada hak untuk mengurus hal pribadiku," jawab Lily lalu melepaskan pegangan Alex.

"Mereka tidak perduli denganmu Lily!!"

***

Lily langsung terbangun dan menetralkan napasnya. "Mimpi itu datang lagi," lirihnya.

Ia memilih pergi kerja, mengabaikan jam yang masih subuh.

Ia tahu bahwa tempatnya bekerja belum buka. Karena itu dia memutuskan untuk pergi ke taman yang masih sepi.

Lily memilih duduk di ayunan sambil melihat langit subuh. "Apakah hidupku akan seperti ini sampai maut datang? Kenapa kau tega menaruh beban kepadaku," gumam Lily.

Bayang-bayang orang itu serta keluarganya masih terlintas, walau lima tahun telah berlalu.

"Ahh ... kenapa aku harus mengingatnya, bukankah dia jahat tega membunuh keluargaku?" ucapnya dengan frustasi.

***

Lily bergegas pulang karena langit sudah gelap. "Sepertinya akan hujan," ucapnya saat mendengar suara petir.

Saat ia sampai di depan pintu, Lily mendengar seseorang tengah berdebat. Karena penasaran yang tinggi, Lily memilih bersembunyi dan mendengarkan.

"Ku ulangi lagi, pergi dari gadisku atau kalian mati," ancamnya penuh dengan penekanan.

"Hei anak muda, kami tidak mungkin pergi dari bocah bodoh itu, karena hanya dia yang bisa kami manfaatkan." Tunggu, ia mengenali suara ini. Seperti suara ibunya.

"Aku sudah memperingatkan berkali-kali, sekarang kalian harus mati!"

"Berani sekali kau bocah!" teriak ayah Lily.

Terjadi baku hantam, Alex mengeluarkan pisau dari belakang bajunya dan langsung menancapkan ke punggung kedua orang tua Lily.

"Alex!!" teriak Lily yang kaget melihat Alex melakukan hal tersebut.

"Walau mereka tidak menganggapku, aku tidak masalah. Kenapa kau tega seperti ini padaku hah!!" emosi Lily sambil mendorong tubuh Alex.

"Bunuh aku juga! Bukankah aku anak dari mereka? Cepat tusukkan pisau itu padaku!" Alex tetap diam, ia tidak merespon sama sekali.

"Pergilah ke pohon terakhir kali kita bermain hujan lima tahun mendatang, kau akan tahu jawaban dari ini semua." Tanpa disangka, Alex menembakan dirinya dengan pistol yang ia sembunyikan.

***

"Tidakk!!" Lily kembali ke dunia asli, ia terlalu larut dalam lamunan hingga teringat sesuatu yang sudah ia lupakan.

"Apakah karena aku melupakan itu, akhir-akhir ini selalu bermimpi buruk? Aku harus cepat menemukan pohon itu." Lily langsung pergi ke tempat terakhir kali ia bermain hujan dengan Alex.

Saat ia menemukan pohon tersebut, dengan cepat Lily menggali. Ia sudah tidak sabar mengetahui semua kebenaran, sudah cukup mimpi buruknya tentang Alex selama ini. "Apa?"

Ia menemukan benda yang disebut, Lily sangat terkejut dengan fakta yang terungkap. "Kenapa ayah dan ibu tega sekali kepadaku hiks."

Di kotak itu, terlihat barang bukti selama ini orang tuanya adalah keluarga tiri. Mereka yang membunuh keluarga kandungnya dan memanfaatkan Lily selama ini. Saat Alex membunuh orang tua tirinya, karena saat hari itu mereka berencana ingin menjual Lily.

"Hiks ... kenapa aku baru mengetahui semua ini? Alex!! Kembali! Jangan tinggalkan aku hiks." Hujan seketika turun, seakan mewakilkan perasaan Lily.

--
Hei gadis, aku menulis surat ini untuk jaga-jaga. Apakah sudah lima tahun berlalu setelah kematianku? Wah keren.

Kau sudah melihat sendiri fakta kenapa aku harus melakukan hal itu bukan? Maafkan aku tidak bisa di sisimu dan harus membuatmu memikul beban yang berat.

Apakah kau masih membenci hujan gadis? Ayolah, wakilkan diriku untuk menyukai hujan. Bukakah setelah hujan akan muncul pelangi? Seperti dukamu bagaikan hujan, tawa kau seperti pelangi.

Bahagialah, aku selalu ada di sini untuk melihatmu.

Tertanda Alex Mishinge tampan.
--

Lily tetap menangis sambil memeluk kotak di bawah guyuran hujan. "Aku akan menerima hujan untuk menikmati rona pelangi Lex."

~~~

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now